10 April 2012

Demonstrasi Ditolak Oleh Syari’at

Penulis:
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Sumber:
Muslim.Or.id

 

Tidakkah anda ingat kasus pembunuhan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu yang terjadi akibat demonstrasi yang didalangi oleh kaum Khawarij?!
Tidakkah anda ingat ‘unjuk rasa’ pertama kali yang dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah -sesepuh kaum Khawarij- di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tuduhan perbuatan zalim yang dilemparkannya kepada beliau?!


Sungguh benar ucapan Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, akan tetapi dia tidak mendapatkannya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya cara anda beramar ma’ruf adalah dengan cara yang ma’ruf, demikian pula cara anda dalam melarang kemungkaran bukan berupa kemungkaran.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 24)


Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang menaati amirku maka dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai amirku maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Ahkam)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada para penguasa -kaum muslimin- selama itu bukan perintah untuk bermaksiat sebagaimana sudah diterangkan di depan di awal Kitab al-Fitan. Hikmah yang tersimpan dalam perintah untuk taat kepada mereka adalah untuk memelihara kesatuan kalimat (stabilitas masyarakat, pent) karena terjadinya perpecahan akan menimbulkan kerusakan.” (Fath al-Bari [13/131] cet. Dar al-Hadits)


Dari ‘Iyadh bin bin Ghunm
radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih, lihat al-Ma’lum Min Wajib al-’Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hal. 23)


Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu’anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh -kepada penguasa- dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dari Tamim bin Aus ad-Dari
radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama ini adalah nasehat.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Maka kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, beriman kepada Kitab-Nya, taat kepada Rasul-Nya, memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin serta nasehat bagi orang-orang biasa (rakyat) diantara mereka.” (HR.Muslim)


Imam Ibnu ash-Sholah
rahimahullah berkata, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, mengingatkan mereka terhadap kebenaran, memberikan peringatan kepada mereka dengan lembut, menjauhi pemberontakan kepada mereka, mendoakan taufik bagi mereka, dan mendorong orang lain (masyarakat) untuk juga bersikap demikian.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 103)


Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran, memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dengan lemah lembut dan halus, memberitahukan kepada mereka hal-hal yang mereka lalaikan, menyampaikan kepada mereka hak-hak kaum muslimin yang belum tersampaikan kepada mereka, tidak memberontak kepada mereka, dan menyatukan hati umat manusia (rakyat) supaya tetap mematuhi mereka.” (lihat Syarh Muslim lil Imam an-Nawawi [2/117], lihat juga penjelasan serupa oleh Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah dalam Syarh al-Arba’in, hal. 33-34)

Sahabat Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma pernah ditanya bagaimana cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, maka beliau menjawab, “Apabila kamu memang mampu melakukannya, cukuplah antara kamu dengan dia saja.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 105)


Dari Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, dia berkata: Ada orang yang bertanya kepada Usamah radhiyallahu’anhu, “Mengapa kamu tidak bertemu dengan ‘Utsman untuk berbicara (memberikan nasehat) kepadanya?”. Maka beliau menjawab, “Apakah menurut kalian aku tidak berbicara kepadanya kecuali harus aku perdengarkan kepada kalian? Demi Allah! Sungguh aku telah berbicara empat mata antara aku dan dia saja. Karena aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu timbulnya masalah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Inilah kiranya mungkin apa yang bisa kami sampaikan di sini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di negeri ini. Kalaulah kami dituduh sebagai penjilat penguasa, maka para ulama semacam Ibnu Hajar, Ibnu ash-Sholah, an-Nawawi, Ibnu Daqiq al-’Ied, Ibnu Abbas dan Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum pun tak akan lepas dari tuduhan mereka!
Allahul musta’aan. Kepada Allah semata, kami memohon pertolongan.

01 April 2012

JAGALAH PERSATUAN

Bawalah Ucapan Saudaramu Kepada Makna yang Benar, Jagalah Persatuan

Posted on 24 Maret 2012by nasihatonline

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Telah dimaklumi bersama bahwa perpecahan sangat tercela dalam agama Islam yang mulia ini, bahkan perpecahan termasuk ciri-ciri orang kafir dan ahlu bid’ah. Allah ta’ala telah mengingatkan dalam kitab-Nya yang mulia,

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Janganlah kamu seperti kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.” [Ar-Rum: 31-32]

Oleh karena itu, generasi Salaf senantiasa berusaha menjaga persatuan kaum muslimin dengan menghindari sebab-sebab terjadinya perpecahan, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sehingga, Salaf dahulu sangat berhati-hati dari semua yang mengandung sebab perpecahan dan rusaknya hubungan antara sesama muslim.

Sampai Al-Khalifah Ar-Rasyid, Sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata,

لاَ تَظُنَّ كَلِمَةً خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدَ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

“Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap kalimat yang diucapkan saudaramu sedang engkau masih menemukan kemungkinan makna yang baik dalam ucapannya itu.” [Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih rahimahullah, (2/418)]

Demikianlah wasiat generasi teladan kita, para sahabat nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menyikapi ucapan saudara muslim kita yang masih mengandung kemungkinan benar dan salah, terlebih jika saudara kita telah menegaskan bahwa yang dia maksudkan adalah makna yang benar, bukan makna yang salah.

Sebagai contoh, jika saudara kita mengucapkan bahwa, “Hukum karma itu ada dalam Islam.” Maka ucapan seperti ini mengandung dua makna:

  1. Makna yang batil, jika yang dimaksudkan dengan hukum karma adalah yang dipahami oleh umat Hindu dan Budha yang kafir kepada Allah ta’ala.
  2. Makna yang benar, adalah makna yang dipahami oleh kebanyakan orang awam dalam ilmu tentang Bahasa Indonesia, dimana mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan karma adalah balasan setimpal atas pelaku kejahatan.

Tidak diragukan lagi makna pertama salah dan makna kedua benar, maka hendaklah Anda bertanya apa yang dimaksud dalam ucapan saudaramu, apakah makna yang pertama atau kedua. Kalau memang Anda tidak mau bertanya maka bawalah ucapan saudaramu kepada makna yang benar sebagaimana bimbingan teladanmu, para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Terlebih jika saudaramu telah menegaskan bahwa karma yang dia maksudkan adalah makna yang kedua, seperti dalam penegasan berikut ini,

“Hukum karma dimaklumi ya dalam bahasa Indonesia, dalam pengertian kita. Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia juga mendapatkan akibat yang semisalnya. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya, bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa pembalasannya itu sangatlah berat. Di dalam berbagai ayat diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, iya, memberikan balasan kepada orang yang berbuat dosa sesuai dengan amalannya masing-masing.”

Dan terlebih lagi jika saudaramu adalah seorang penyeru kepada kebaikan, kepada manhaj yang haq di tengah-tengah ramainya manusia yang menyeru kepada kesesatan, bukankah engkau memiliki kewajiban untuk menolong saudaramu dengan mengharumkan namanya agar manusia mengikuti seruannya dan tidak lari dari kebenaran yang ia serukan. Sedangkan Anda memaklumi bahwa sang penyeru kepada kebenaran tersebut adalah manusia biasa yang mungkin berbuat kesalahan,

Berikut ini adalah ringkasan nasihat Al-Walid Al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullah dalam menyikapi kesalahan para da’i Ahlus Sunnah dalam sebuah risalah yang berjudul, “Uslub An-Naqd bayna Du’at wat Ta’qib ‘alaihi.”

Beliau rahimahullah berkata,

وقد شاع في هذا العصر أن كثيرا من المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون في أعراض كثير من إخوانهم الدعاة المشهورين , ويتكلمون في أعراض طلبة العلم والدعاة والمحاضرين . يفعلون ذلك سرا في مجالسهم . وربما سجلوه في أشرطة تنشر على الناس , وقد يفعلونه علانية في محاضرات عامة في المساجد , وهذا المسلك مخالف لما أمر الله به ورسوله من جهات عديدة منها :

“Telah tersebar di zaman ini, banyak orang yang menghubungkan dirinya kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, mereka itu telah menodai kehormatan banyak saudara-saudara mereka para da’i yang terkenal (berjalan di atas kebenaran). Mereka juga menjatuhkan kehormatan para penuntut ilmu, da’i dan penceramah. Mereka lakukan itu secara rahasia di majelis-majelis mereka dan bisa jadi mereka merekamnya dan disebarkan kepada khalayak. Bisa jadi juga perbuatan tersebut mereka lakukan secara terang-terangan dalam ceramah umum di masjid-masjid. Dan ini adalah sebuah metode yang menyelisihi perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya dari banyak sisi.”

Berikut ringkasan pelanggaran dalam perbuatan tersebut:

Pertama: Perbuatan tersebut melampaui batas terhadap hak-hak manusia, bahkan manusia yang paling mulia, yaitu para penuntut ilmu dan da’i yang telah mengerahkan tenaga mereka untuk membimbing manusia kepada kebaikan, memperbaiki aqidah umat dan manhaj mereka serta bersungguh-sungguh dalam mengadakan pengajaran, ceramah dan penulisan buku-buku yang bermanfaat.

Kedua: Perbuatan tersebut memecah belah kesatuan kaum muslimin, terlebih para du’at Ahlus Sunnah membutuhkan kekuatan dalam persatuan untuk menghadapi ahlul bid’ah dan orang-orang kafir.

Ketiga: Perbuatan tersebut menolong ahlul bid’ah dan orang-orang kafir dalam menjatuhkan Ahlus Sunnah.

Keempat: Perbuatan tersebut merusak hati kaum muslimin yang umum maupun yang khusus, sehingga memunculkan banyaknya kedustaan, ghibah, namimah dan membuka pintu-pintu keburukan terhadap orang-orang yang lemah jiwanya lagi suka menebar syubhat dan fitnah serta menyakiti kaum muslimin.

Kelima: Bahwa kebanyakan ucapan yang disebarkan tersebut adalah kedustaan atau sebuah kalimat yang masih mungkin ditafsirkan kepada makna yang benar sebagaimana ucapan Salaf (Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu) di atas.

Keenam: Sebagian ulama dan penuntut ilmu yang melakukan ijtihad tidaklah dicela karena kesalahan mereka dalam berijtihad, akan tetapi hendaklah dinasihati dengan cara yang terbaik dalam keadaan kita mengingankan agar sampai kepada kebenaran dan menolak tahrisy (memecah belah) yang dilakukan oleh setan. Jika tidak memungkinkan disampaikan secara langsung dan sembunyi-sembunyi, dan mengharuskan adanya nasihat secara terbuka maka hendaklah dinasihati dengan kata-kata yang paling halus dan lemah lembut.

Pada bagian akhir Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mewasiatkan,

فالذي أنصح به هؤلاء الأخوة الذين وقعوا في أعراض الدعاة ونالوا منهم أن يتوبوا إلى الله تعالى مما كتبته أيديهم , أو تلفظت به ألسنتهم مما كان سببا في إفساد قلوب بعض الشباب وشحنهم بالأحقاد والضغائن , وشغلهم عن طلب العلم النافع , وعن الدعوة إلى الله بالقيل والقال والكلام عن فلان وفلان , والبحث عما يعتبرونه أخطاء للآخرين وتصيدها , وتكلف ذلك .

“Maka yang aku nasihatkan kepada para Ikhwah yang menjatuhkan kehormatan para da’i dan melecehkan mereka, untuk segera bertaubat kepada Allah ta’ala dari apa yang mereka tulis dengan tangan-tangan mereka atau yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka yang telah menjadi sebab rusaknya hati sebagian pemuda dan membakar mereka dengan kedengkian dan kebencian, serta menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan dakwah kepada Allah ta’ala dengan qila wa qaala (desas desus) dan pembicaraan tentang fulan dan fulan, dan membahas apa yang mereka anggap sebagai kesalahan orang lain, mencari-carinya dan berlebihan padanya.”

Sebagaimana beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah) juga mewasiatkan agar tidak terburu-buru dalam menulis suatu bantahan sebelum mengembalikannya kepada para orang-orang yang berilmu. Allah ta’ala telah mengingatkan,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [An-Nisa’: 83]

[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, (7/311-314)]

Peringatan: Tidak diragukan lagi yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam wasiat beliau di atas adalah para da’i Ahlus Sunnah, bukan dalam mengkritik ahlul bid’ah dan orang-orang kafir. Hal ini perlu kami ingatkan sebab seringkali ahlul bid’ah dari kalangan hizbiyun bertameng dengan nasihat ini sebagaimana mereka juga bertameng dengan kitab Rifqon Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah untuk menyalahkan Ahlus Sunnah yang mengkritik da’i-da’i mereka yang sesat.

Bimbingan Ulama dalam Menasihati Kesalahan Orang-orang yang Berilmu

Terlebih lagi jika ternyata orang yang engkau jatuhkan kehormatannya itu adalah seorang yang berilmu maka ketahuilah, tidak ada yang lebih mengenal keutamaan dan kedudukan orang-orang yang berilmu melebihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan inilah salah satu karakter Ahlus Sunnah yang membedakannya dengan Ahlul Bid’ah. Tanda Ahlus Sunnah adalah memuliakan orang-orang yang berilmu dan tanda Ahlul Bid’ah adalah menjatuhkan kehormatan mereka.

Oleh karena itu, termasuk kewajiban seorang muslim adalah memberikan nasihat kepada orang-orang yang berilmu berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama itu adalah nasihat,” Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin (ulama dan pemerintah) kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.” [HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu]

Adapun yang dimaksud dengan nasihat terhadap orang-orang yang berilmu adalah,

1. Mencintai mereka

2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran

3. Membela kehormatan mereka

4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN

5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia

Tahapan Dalam Menyikapi Kesalahan Orang yang Berilmu

Seorang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan, akan tetapi berbeda cara menyikapi kesalahan orang yang berilmu dan orang yang jahil. Inilah tahapan menyikapi kesalahan orang yang berilmu, kami ringkas dengan sedikit perubahan dari penjelasan Faqihul ‘Asrh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah,

TAHAPAN PERTAMA: Melakukan tatsabbut [pemastian] berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.

TAHAPAN KEDUA: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itu adalah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh menjadi jelas bahwa hal itu adalah kebenaran.

TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.

TAHAPAN KEEMPAT: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:

  • MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
  • Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah [menyampaikan pendapatmu], akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
  • Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub [kagum terhadap diri sendiri] dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang lainnya kecil di hadapannya.

[Diringkas dengan sedikit perubahan dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 140-142]