22 February 2012

Hukum Memakai pakaian berjenama kafir

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

ulasan abu faruq: semasa di sekolah dulu, pernah saya nampak kawan memakai pakaian bola dengan bermacam nama2 kafir, termasuk ada yang pakai jenama Carlsberg(arak).

Maka, ustaz abuljauza menjelaskan kepada kita dengan panduan para ulama' berkenaan hal ini.


Pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah :

الذي يلبس ما يلبسه الكفار ويكون على ظهره في لباسه اسم لاعب كافر ولا ينوي التشبه بذلك أو بهم ؟

“(Apa hukum) orang yang memakai pakaian yang dipakai orang kafir, dimana di bagian punggung/belakang pakaian tersebut terdapat nama si pemain kafir; tanpa ada maksud bertasyabbuh dengan mereka (orang kafir) ?”.

Beliau hafidhahullah menjawab :


هذا تعظيم للكافر ، ما دام يلبس الثوب الذي عليه اسم الكافر أو صورته هذا تعظيم للكافر ، فلا يجوز هذا أقل أحواله أنه محرم ، وإن كان يعظمه يخشى على ردته . نعم.

“Perbuatan ini termasuk pengagungan terhadap orang kafir. Selama ia memakai pekaian yang terdapat nama orang kafir atau gambarnya, maka ini termasuk pengagungan terhadap orang kafir. Tidak diperbolehkan. Minimal hukumnya adalah diharamkan. Dan apabila ia memang berniat mengagungkannya (dengan perbuatannya itu), dikhawatirkan ia jatuh dalam kemurtadan. Na’am” [sumber : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=120239].
untuk artikel asal dan video percakapan syaikh, boleh rujuk di link

16 February 2012

Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin Al-Abbad

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

http://us.kajian.net/

link yunpad

Saya sertakan link ceramah oleh Syeikh Prof Abdul Razzaq bin Abdulmuhsin Abbad, pensyarah Universiti Islam Madinah yang bertajuk

HAKIKAT KEIMANAN

ada penterjemah dalam bahasa indonesia, sangat mudah difahami.

linknya ada di atas.

13 February 2012

istiqomah cari ilmu agama

Istiqomah menuntut ILMU SYAR'I bukti
IMAN & CINTA kepada ALLAH dan RASUL

dikumpul oleh Abu Aisyah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu (syar'i), maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Syurga." - [HR. Muslim].
Hendaknya kita sedar bahawa orang yang benar-benar BERIMAN dan CINTA kepada Allah dan Rasul, mereka selalu berusaha melakukan hal-hal yang boleh mendatangkan RIDHA dan CINTA Allah kepadanya. Maka fahamlah kita betapa pentingnya ilmu syar'i kepada orang yang selalu mencarinya kerana Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju syurga Allah yang sangat diidam-idamkan oleh setiap orang yang beriman dan bertaqwa. — with Zikri Deen and 49 others.

    • Kerana itu, tidak hairanlah bagi kita Imam Ahmad bin Hambal sanggup berkata:
      “Seseorang lebih memerlukan ilmu (syar'i) melebihi keperluannya kepada makanan dan minuman. Yang demikian itu kerana dia terkadang hanya perlu kepada makan dan mi...num hanya sekali atau dua kali sahaja sementara keperluannya terhadap ilmu sejumlah degup nafasnya.” - [lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid].
      ... menunjukkan bahawa seorang yang beriman dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sangat dahaga kepada ilmu-ilmu syar'i yang dengan rahmat dari Allah jualah seseorang berkemampuan untuk melakukan berbagai amalan yang terbaik (sama ada yang berupa amalan hati, lisan mahupun badan) sehingga tercapai RIDHA dan CINTA ALLAH kepadanya.See More

      February 9 at 4:06pm · LikeUnlike ·  

    • Abu Aisyah Muhammad Shukri

    • Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata:
      "Setiap jalan, baik yang konkrit (jelas & nyata) maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda N...abi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." - [lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623].
      Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat.
      Allah berfirman,
      Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." - [Thaha: 114].
      Allah tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu itu tinggi di sisi Allah.

  • 08 February 2012

    Bila tangan dijilat anjing

    #menjadi permasalahan yang besar di Malaysia, terutama buat orang Islam dalam fiqh thoharah. (bersuci).

    salah satunya adalah dalam hal2 anjing. ada juga yang menyamakan antara anjing dan babi. Namun, apakah dalilnya?

    disini, ustaz abdullah tuasikal berkongsi ilmunya kepada kita semua, apakah sebenarnya yang harus kita lakukan apabila berdepan dengan masalah anjing.

    mari ikuti perbahasannya di bawah;

    link: http://rumaysho.com/hukum-islam/thoharoh/3695-ketika-tangan-dijilat-anjing-.html

    oleh: ustaz abdullah tuasikal

    Anjing sudah kita ketahui bersama termasuk hewan yang najis. Sehingga kita diperintahkan ketika anjing menjilat bejana semacam piring untuk mencucinya sebanyak tujuh kali. Namun kasusnya sekarang bukanlah piring yang dijilat, namun tangan kita sendiri. Apakah diperintahkan hal yang sama?

    Mengenai hal ini kita bisa menarik pelajaran dari hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

    Jika anjing minumm di salah satu bejana di antara kalian, maka cucilah bejana tersebut sebanyak tujuh kali” (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279).

    Dalam riwayat lain disebutkan,

    أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

    Yang pertama dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 279)

    Dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ

    Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 280).

    Pelajaran penting dari hadits di atas:

    Pertama: Kata “إِذَا” (jika) merupakan kata bantu dalam kalimat syarat. Yang bisa dipahami dari kalimat ini adalah jika anjing minum dari bejana atau menjilat, maka hendaklah bejana tersebut dicuci 7 kali. Selain dari meminum atau menjilat tidaklah disebutkan dalam hadits di atas, maka tidak wajib mencuci tujuh kali. Seandainya anjing tersebut hanya meletakkan tangannya di bejana atau mencelupkan tangan di air dan tidak meminumnya, maka tidak wajib mencuci bejana tersebut tujuh kali. Karena syariba (meminum) adalah dengan menghirup air dan walagho (menjilat) adalah dengan memasukkan lidah ke dalam air. Termasuk pula jika air liur anjing jatuh di sesuatu yang bukan zat cair, tidak pula diwajibkan mencuci tujuh kali.

    Sama halnya pula jika anjing menjilat atau menyentuh tangan manusia, maka tidak ada kewajiban mencuci tujuh kali. Karena yang dibacarakan dalam hadits hanyalah menjilat atau meminum, tidak untuk yang lainnya. Sehingga yang lainnya tidak berlaku hukum tujuh kali.

    Air liurnya tetap najis, namun tidak diharuskan dicuci tujuh kali ketika tangan atau badan kita dijilat anjing.

    Kedua: Mencuci bejana tujuh kali di atas hanya berlaku untuk anjing saja, tidak untuk babi atau binatang lainnya. Tidak berlaku qiyas dalam hal ini karena kita sendiri tidak diberitahukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kenapa bejana harus dicuci ketika dijilat anjing.

    Ketiga: Wajib mencuci bejana seperti piring, gelas, dan ember yang telah dijilat anjing dan pencuciannya sebanyak tujuh kali. Karena dalam hadits di atas digunakan kata perintah “فَلْيَغْسِلْهُ”, yang bermakna “cucilah”, bermakna wajib. Inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama, yaitu Syafi’iyah, Hambali dan Hanafiyah.

    Keempat: Dalam hadits di atas disebutkan “أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yang awal dengan tanah. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan “إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, salah satunya dengan tanah. Pada riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah disebutkan “أُولاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yang awal atau terakhir dengan tanah. Syaikhuna –guru kami- Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syitsri menyatakan, “Pernyataan hadits dengan pertama atau kedua, itu bukanlah keharusan, hanya pilihan. Karena jika ada lafazh mutlak yang di tempat lain disebutkan dua sifat berbeda (yaitu disebut pertama atau terakhir), maka lafazh tersebut tidak terkait dengan dua sifat tersebut. …. Jadi boleh saja pencucian dengan tanah itu dilakukan di awal, atau pada pencucian kedua, atau terakhir.”

    Kelima: Dalam riwayat lain disebutkan “وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِى التُّرَابِ”, cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah (debu). Yang dimaksud di sini adalah salah satu cucian bisa dengan campuran tanah dan air. Jika kita pisah campuran tersebut, maka jadinya tanah dan air itu sendiri-sendiri. Sehingga jadi delapan cucian, padahal yang ada hanyalah tujuh.

    Keenam: Apakah pencucian di sini hanya dibatasi dengan turob atau debu? Ulama Hambali menyatakan boleh menggunakan sabun atau shampoo sebab tujuannya untuk membersihkan dan sabun semisal dengan debu bahkan lebih bersih nantinya dari debu. Sedangkan ulama lainnya berpendapat hanya boleh dengan debu atau tanah karena tidak diketahui ‘illah (sebab) mengapa dengan tanah.

    Ketujuh: Kita tahu di sini bahwa anjing menjilat bejana yang ada airnya. Dan kita diperintahkan untuk mencuci bejana tersebut dan itu berarti airnya dibuang. Di sini dapat dipahami bahwa air tersebut sudah tidak suci lagi. Padahal jilatan anjing belum tentu merubah keadaan air walau itu sedikit. Namun tetap mesti dibuang. Menurut Syaikh Asy Syitsri, hal ini berlaku untuk masalah jilatan anjing saja. Sedangkan untuk masalah lainnya jika ada najis yang jatuh pada air yang sedikit –kurang dari dua qullah (200 liter)-, maka tidak berlaku demikian. Namun dikembalikan kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ

    Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478). Artinya, jika air itu –sedikit atau banyak- berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, barulah air tersebut dihukumi najis. Jika tidak, maka tetap suci.

    Inilah beberapa pelajaran yang kami peroleh dari kitab yang sangat kami kagumi, dari ulama yang amat cerdas sebagaimana pujian Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz kepadanya. Syaikh Ibnu Baz berkata mengenai beliau, “Huwa azkar rojul fil ardh, beliau adalah orang tercerdas di muka bumi”. Beliau adalah Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syitsri hafizhohullah yang dulunya masuk dalam jajaran Hay-ah Kibaril Ulama, kumpulan ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia dan sangat pakar dalam Ushul Fiqih. Kitab yang jadi rujukan kami adalah dari ceramah kajian beliau yang dibukukan, Syarh ‘Umdatul Ahkam, 1: 22-28, terbitan Dar Kanuz Isy-biliya, cetakan pertama, tahun 1429 H.

    Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

    @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 16 Rabiul Awwal 1433 H

    www.rumaysho.com

    05 February 2012

    Sahihkah ilmu sirah nabi kita?

    بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين، وبعد.

    sumber: http://abuanasmadani.blogspot.com/2012/02/penentuan-tarikh-lahir-nabi-saw-dan.html

    PENENTUAN TARIKH LAHIR NABI SAW.

    A) Tahun Kelahiran:

    1- Pendapat yang masyhur ialah Nabi saw dilahirkan pada tahun Gajah (Aam al-Fil).

    2- Dikatakan setahun selepas tahun Gajah. Ada juga 40 hari selepasnya atau 50 hari selepasnya.

    3- Ada juga yang mengatakan 10 tahun, 23 tahun dan 30 tahun selepas tahun Gajah.

    Menjelaskan perbezaan yang ketara ini, al-Imam az-Zahabi mengatakan: “Berkata Abu Ahmad al-Hakim: Nabi saw dilahirkan 30 hari selepas tahun Gajah, sebagaimana pendapat sebahagian ulama'. Katanya lagi, Nabi dilahirkan 40 hari selepas tahun Gajah. Seterusnya, az-Zahabi mengatakan bahawa kesilapan yang berlaku pada mereka yang mengatakan 30 atau 40 tahun, seolah-olah mereka ingain mengatakan hari (yauman) bukan tahun (‘aaman).

    Kata as-Suhaili dan Ibnu Kathir: Itulah pandangan yang paling masyhur (Baginda dilahirkan pada tahun Gajah).

    B) Bulan:

    1- Pendapat jumhur ulama'; Baginda saw dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awwal.

    2- Di katakan juga Nabi saw lahir pada bulan Ramadhan. Pendapat kedua ini dihukum oleh al-Hafiz Ibnu Kathir sebagai amat gamjil (Gharib Jiddan). [Al-Badayah wa an-Nihayah 2/260].

    C) Hari:

    Imam Muslim dalam hadis Sahih Muslim: Apabila Baginda saw ditanya tentang puasa pada hari Isnin, jawab Baginda: “Pada hari itu saya dilahirkan, dan saya dibangkitkan dan saya diwahyukan.”

    D) Penentuan Tarikh Kelahiran Nabi saw

    Kata Ibnu Kathir:

    1- Baginda dilahirkan pada 2 Rabi’ul Awwal. Pendapat ini disebut oleh Ibn Abd Al-Barr dalam kitab ‘Al-Isti’ab’ dan diriwayatkan oleh Al-Waqidi.

    2- Al-Humaidi pula menghikayatkan daripada Ibn Hazm bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 8 Rabi’ul Awwal.

    3- Dikatakan bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 10 Ra bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 8 Rabi’ul Awwal.

    4- Dikatakan bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 12 Rabi’ul Awwal sebagaimana yang di riwayatkan pleh Ibn Ishaq dan di riwayatkan oleh Abi Syaibah dalam Musannafnya daripada Jabir dan Ibn Abbas ra. Kata mereka berdua: (( Rasulullah saw dilahirkan pada tahun Gajah, hari Isnin 12 Rabi’ul Awwal. Pada nya juga Baginda dibangkitkan menjadi nabi dan padanya Baginda diMikrajkan ke langit, padanya Baginda wafat dan padanya Baginda saw wafat.)) kata Ibnu Kathir: Inilah pendapat yang jumhur di kalangan ulama'. Wallahu a’lam.

    5- Dikatakan bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 17 Rabi’ul Awwal. Pendapat ini dinaqalkan oleh Ibnu Dihayah, daripada sebahagaian golongan Syiah.

    6- Dikatakan bahawa tarikh kelahiran Baginda saw adalah pada 22 Rabi’ul Awwal sebagaimana dinaqalkan oleh Ibnu Dihayah, daripada catatan al-Wazir Abi Rafi’.

    7- Memandangkan riwayat Jabir dan Ibnu Abbas ra yang menyebut kelahiran Baginda pada 12 Rabi’ul Awwal dianggap lemah oleh ahli Hadis. Terdapat kecenderungan untuk mengambil kira perkiraan ahli falaq dalam hal ini. lantaran itu timbul pendapat bahawa tarikh kelahiran Baginda adalah pada 9 Rabi’ul Awwal atau pada malam 9 Rabi’ul Awwal. Mereka yang berpegang dengan pendapat berkenaan adalah seperti berikut:

    a) Al-Ustaz Mahmud Basyar al-Falaqi (m 1302H)

    b) Al-Ustaz Sulaiman al-Mansurfuri.

    Kata Syeikh Muhammad Soleh al-Uthaimin: Sebahagian ahli falaq terkemudian telah meneliti tarikh kelahiran Baginda, di mana ianya jatuh pada 9 Rabi’ul Awwal, bukan pada 12 Rabi’ul Awwal.

    Pendapat ini dipegang oleh Syeikh Safi ar-Rahman al-Mubarakpuri, berdasarkan penelitian dua tokoh falaq di atas. Tarikh itu bersamaan dengan 20 atau 22 April 571M.

    Bagi Prof Dr Akram al-Umairi, beliau kelihatan lebih memihak kepada pendapat Ibnu Ishaq yang memilih tarikh 12 Rabi’ul Awwal atas alasan Ibnu Ishaq lebih thiqah (dipercayai) berbanding daripada Al-Waqidi dan Abu Mi’syar al-Sindi.

    [Tulisan ini diringkaskan dari tulisan Dr Ahmad Najib al-Qari, UM Nilam Puri, dengan tajuk: Isu-Isu Dalam Sirah Nabi Saw. Dipetik dari buku penghayatan Sirah Nabi saw, terbitan Persatuan Alumni Universiti Islam Madinah, Kelantan].

    Kata Abu Anas Madani, ‘afalLahu anhu:

    Pada penelitian saya, hikmat kenapa Rasulullah saw sendiri tidak menentukan tarikh sebenaranya bila (tidak sebagaimana hari Isnin yang jelas disebut), adalah sama dengan tarikh Kiamat, yang tidak ditentukan bila, cuma disebut akan berlaku pada hari Jumaat. Ianya supaya kita umatnya sentiasa berusaha untuk beramal soleh dan melakukan kebajikan sepanjang masa dan zaman, bukan hanya pada tarikh-tarikh tertentu sahaja.

    Tarikh itu tidak penting dan bukan perkara besar, apa yang pentingnya ialah melahirkan kecintaan kita terhadap Rasulullah saw dengan mengikut segala arahan dan ajarannya dan menjauhkan diri daripada segala larangan dan amarannya.

    Petikan daripada kertas kerja Abu Anas dalam buku ini juga, dengan tajuk: Fiqh Sirah dan Kepentingannya:

    Mengkaji sirah Rasulullah saw itu bukanlah seperti kita mengkaji seorang tokoh atau pemimpin biasa atau sekadar kagum dan bermegah dengan ketokohan atau kepemimpinan, tetapi di sana ianya mempunyai hubungan yang erat dengan persoalan mengapa kita beriman kepada Allah, mengapa kita percaya kepada kenabian Muhammad saw, mengapa kita beriman kepada kitab yang diwahyukan kepadanya, mengapa kita mendakwah orang lain supaya beriman seperti berimannya kita, bahkan seterusnya mengapa kita berjihad seperti jihadnya pula.

    Bukanlah mempelajari sirah Rasulullah saw itu sekadar mengetahui peristiwa atau sejarah, atau dengan kata yang lain seperti mempelajari sejarah biasa, tetapi tujuan yang sebenar ialah untuk memahami tasawwur Islam yang hakiki, yang dinyatakan oleh batang tubuh dan peribadi Rasulullah saw dan para sahabat r.a. yang mendampingi dan mengelilinginya khususnya dizaman pembentukan iman dan tuntutannya didalam diri setiap individu, rumahtangga, masyarakat dan negara (samada yang berhubungan dengan akidah atau Syariat dan juga nizam serta akhlak).

    Disana jelas kepada kita sirah Rasulullah saw bukanlah sekadar cerita yang disebut atau dinyanyikan pada hari jadi, memuja umur, pertabalan atau kewafatan dengan laungan semata-mata atau membentangkan “slogan-slogan” yang ditulis pada sepanduk-sepanduk. Justeru hubungan seorang muslim yang sebenar dengan Rasulullah saw itu adalah ke arah Islam tulen dan bukanlah Islam yang tiruan dan bohong.

    Maka apa yang dibaca dan didengar tentang Rasulullah saw dan para sahabat r.a semata-mata untuk memahami, mendekati dan menghayati sunnah Rasulullah saw didalam kehidupan dan persediaan untuk kembali kepada Allah SWT samada semasa perang atau damai, didalam ilmu dan amal atau didalam ibadah dan adat.

    [Lihat: http://www.abuanasmadani.com/?p=526 ]

    Kepada orang-orang yang meneruskan perjuangan dengan slogan-slogan, dengan nasyid-nasyid atau sekadar memuji dan memuja hanya dengan lidah yang tidak bertulang dan dengan dakwah “cair” itu, kita peringatkan dengan firman Allah SWT:

    { وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَذَكِّرْ بِهِ أَنْ تُبْسَلَ نَفْسٌ بِمَا كَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيٌّ وَلا شَفِيعٌ وَإِنْ تَعْدِلْ كُلَّ عَدْلٍ لا يُؤْخَذْ مِنْهَا أُولَئِكَ الَّذِينَ أُبْسِلُوا بِمَا كَسَبُوا لَهُمْ شَرَابٌ مِنْ حَمِيمٍ وَعَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ } الأنعام (70)

    Maksudnya: {Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, kerana perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, nescaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.}[Al-An’am: 70] [Lihat: Muqaddimah kitab: Fiqh Al-Harakah, DSTG Abdul Hadi Awang; 3-5]”.

    Sekian.

    Akhukum:

    Abu Anas Madani,

    PSD, 11 Rabi’ul Awwal 1433H.