25 November 2012

Saudariku, Inilah Kemuliaanmu!

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Oleh:Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni
 
Syaikh Shâlih al-Fauzân hafidzahullâh berkata: "Wanita Muslimah memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, sehingga banyak tugas mulia yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi n selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3] , seperti khutbah yang beliau sampaikan di Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu….[5]

Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap kaum perempuan adalah dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.[6]

Adapun perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hukum syariat, ini justru menunjukkan kesempurnaan Islam. Karena, agama ini benar-benar mempertimbangkan perbedaan kondisi laki-laki dan perempuan, untuk menetapkan hukum-hukum yang sangat sesuai dengan keadaan dan kondisi keduanya.

Inilah bukti bahwa syariat Islam benar-benar ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana, yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-Mulk/67:14]

Ini semua menunjukkan bahwa agama Islam benar-benar ingin memuliakan kaum perempuan, karena Islam menetapkan hukum-hukum yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kodrat mereka. Dengan mengamalkan semua itu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang sebenarnya.

Ketika menjelaskan hikmah yang agung ini, Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh berkata: " Dialah Allah Azza wa Jalla yang menetapkan dan menakdirkan bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan dalam ciri, bentuk, dan kekuatan fisik. Laki-laki memiliki fisik dan watak yang lebih kuat, sedangkan perempuan lebih lemah dalam (kondisi) fisik maupun wataknya…

Dua macam perbedaan inilah yang menjadi sandaran bagi sejumlah besar hukum-hukum syariat. Dengan hikmah-Nya yang tinggi Allah Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, telah menetapkan adanya perbedaan dan ketidaksamaan antara laki-laki dengan perempuan dalam sebagian hukum-hukum syariat, yaitu dalam tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan bentuk fisik, serta kemampuan masing-masing dari kedua jenis tersebut (laki-laki dan perempuan) untuk menunaikannya. Demikian pula sesuai dengan kekhususan masing-masing dari keduanya pada bidangnya dalam kehidupan manusia, agar sempurna tatanan kehidupan ini, dan agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya.
 

13 November 2012

WALA' KEPADA KAUM MU'MININ

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan dalam Majmu' Fatawa : Wajib bagi mu'min (bila memberikan permusuhan), hendaknya memberikan permusuhan karena Allah. Dan (bila memberikan loyalitas, Pen) hendaknya memberikan loyalitas karena Allah. Apabila terdapat seorang mu'min lain, maka mu'min pertama wajib memberikan kasih-sayang dan loyalitas kepada mu'min lain itu, meskipun ia menzhaliminya. Sebab kezhaliman semacam itu tidak memutuskan tali loyalitas imaniyah (keimanan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا – الآية -إلى قوله تعالى- إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min saling berperang, maka damaikanlah diantara keduanya …-sampai dengan firman Allah Ta'ala- (artinya): Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. [Al Hujurat:9,10].

Pada ayat itu Allah menjadikan kaum mu'minin tersebut bersaudara, meskipun ada peperangan dan tindakan melampaui batas. Sekaligus Allah memerintahkan agar mereka bisa berdamai kembali. Maka seorang mu'min hendaknya merenungkan adanya perbedaan antara dua macam keadaan ini (keadaan persaudaraan di satu sisi dan keadaan peperangan di sisi lain, Pen). Sebab, seringkali satu sama lain menjadi tidak jelas.

Hendaknya Anda memahami, bahwa Anda wajib memberikan kasih-sayang, pembelaan dan loyalitas kepada orang mu'min, meskipun ia mezhalimi dan memusuhi Anda. Sebaliknya, Anda wajib memusuhi orang kafir, sekalipun ia suka memberi dan berbuat baik kepada Anda. Sesungguhnya, Allah l mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya dengan maksud, supaya agama menjadi agama Allah semuanya (maksudnya supaya tidak ada agama lain selain agama Allah, Pen). Sehingga kecintaan hanya diberikan kepada wali-wali (orang-orang yang dicintai)Nya, dan siksa diberikan kepada musuh-musuhNya.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya: Apabila pada diri satu orang terdapat kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan, serta terdapat sunnah dan bid'ah, maka ia berhak mendapat kasih-sayang dan pahala sesuai dengan ukuran kebaikannya. Namun sekaligus berhak mendapat permusuhan dan siksa sesuai dengan ukuran keburukannya.

Jadi, bisa saja pada diri satu orang terdapat hal-hal yang menyebabkan ia harus mendapat penghormatan dan sekaligus penghinaan. Sebagai contoh, seorang pencuri yang miskin. Di satu sisi ia dipotong tangannya, namun pada sisi lain ia mendapat santunan dari Baitul Mal sesuai dengan kebutuhan yang dapat mencukupinya. Inilah prinsip yang telah menjadi kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. [8]

Apa yang dikemukakan Syaikhul Islam di atas memberikan pengertian bahwa wala' kepada sesama muslim tidak berarti harus total, mutlak dan habis-habisan. Harus dilihat sejauh mana kadar keimanan seseorang dan kadar kebaikannya. Ini persoalan yang sangat logis dan tidak bertentangan dengan fitrah. Dan memang, demikian itulah tuntunan syari'at. Orang fasik dibenci sesuai dengan kefasikannya. Begitu pula Ahlu Bid'ah. Tidak ada wala' kepada Ahlu Bid'ah, kecuali karena ia masih sebagai muslim. Bahkan permusuhan kepada Ahlu Bid'ah akan lebih sengit daripada kepada ahli maksiat yang bukan Ahli Bid'ah.

Itulah sebabnya Syaikhul Islam menjelaskan: Ini merupakan alasan hakiki bagi apa yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf dan para imam, bahwa "para juru dakwah bid'ah yang mendakwahkan bid'ah-bid'ahnya, tidak diterima kesaksiannya, tidak boleh berma'mum kepada mereka dalam shalat, tidak boleh mengambil ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahkan dengan mereka.

Demikian ini dilakukan sebagai hukuman bagi mereka supaya berhenti dari kegiatan menyebarkan bid'ah. Karena itu, ada pembedaan antara Ahlu Bid'ah yang da'i dengan yang bukan da'i. Sebab Ahlu Bid'ah yang da'i, memunculkan kemungkaran-kemungkaran. Karenanya perlu mendapat hukuman. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan bid'ahnya, ia tidak lebih buruk dari orang-orang munafik, yang oleh Nabi n tetap diterima keadaan lahiriah mereka, sedangkan rahasia batin mereka diserahkan kepada Allah. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui keadan kebanyakan para munafik itu.

Oleh sebab itulah, ada hadits yang menjelaskan, bila kemaksiatan masih tersembunyi, ia tidak akan membahayakan pihak lain. Akan tetapi, bila (kemaksiatan) sudah disebar luaskan kemudian tidak diingkari, maka akan membahayakan masyarakat umum. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الَّناسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رواه أحمد)

Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran tetapi tidak mau merubahnya, maka sudah dekat saatnya Allah akan menimpakan hukuman siksa secara merata. [HR. Ahmad, lihat Shahih Jami’ Shagir no. 1974] [9].

Manakah ada kemungkaran yang lebih besar daripada bid'ah kecuali syirik? Namun dalam kaitannya dengan hajr (tindakan isolasi) terhadap Ahlu Bid'ah atau orang-orang fasik, tetap harus melihat maslahat dan mafsadat. Jika dengan tindakan mengisolasi Ahlu Bid'ah berakibat maslahat, misalnya kegiatan bid'ah jadi melemah, maka tindakan itu disyari'atkan. Tetapi jika tidak membawa maslahat, maka tindakan itu tidak disyari'atkan. Seperti yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pada Majmu' Fatawa, juz 28 halaman 206 dan seterusnya.

Kesimpulannya, meski seseorang adalah seorang muslim, namun jika tindakannya menyimpang dari aturan syari'at, atau Ahlu Bid'ah, apalagi menyebar luaskan bid'ah, atau mengajarkan faham-faham yang salah, walaupun mengatas-namakan dakwah dan perjuangan, tetap tidak berhak mendapatkan kasih-sayang, pembelaan, dukungan dan loyalitas yang diharapkan. Bahkan perlu ditentang. Yang berhak mendapat pembelaan, kasih-sayang serta loyalitas yang sempurna adalah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Musa Aal Nasr, ketika beliau memberikan keterangan tentang cara meraih kemenangan. Beliau berkata,”Harus memberikan wala'; kasih-sayang, pembelaan, kesetiakawanan dan kecintaan kepada Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, serta memberikan permusuhan kepada para pengikut hawa nafsu dan Ahli Bid'ah." [10]

Demikianlah sekelumit permasalahan wala' wal bara' dan solidaritas dengan sesama kaum Muslimin. Bila kaum Muslimin kembali kepada ajaran Al Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, niscaya hubungan akan harmonis dan indah. Kapankah itu terwujud?

Wallahu al Musta'an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
 
lanjutan artikel di almanhaj

03 November 2012

Siapakah Lelaki Pilihan?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Apabila seorang lelaki dianjurkan untuk mencari wanita berkriteria seperti yang telah kami sebutkan di atas, maka bagi wali wanita juga berkewajiban untuk mencari lelaki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Abu Hatim al-Muzani Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَكُـمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

‘Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak wanita kalian), jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [7]

Dan tidaklah mengapa apabila seorang wali menawarkan puteri atau saudara wanitanya kepada orang-orang yang shalih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhuma ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah pada saat sekarang.’ ‘Umar berkata, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun dan pada saat itu aku merasa lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Beberapa hari berlalu sampai kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminangnya, maka aku nikahkan ia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah akan tetapi aku tidak berkomentar apa-apa?’ ‘Umar menjawab ‘Ya’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu kecuali karena aku tahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarluaskan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau meninggalkannya, maka niscaya aku akan menerimanya.’”[8]

sumber: http://almanhaj.or.id/content/2226/slash/0/siapakah-wanita-pilihan-siapakah-lelaki-pilihan-khitbah-meminang/

01 November 2012

Siapakah Wanita Pilihan ?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Barangsiapa yang ingin menikah, maka hendaknya ia mencari seorang wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Taat beragama, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Maka dapatkanlah wanita yang taat beragama niscaya kamu beruntung.” [4]

2. Masih gadis, kecuali jika ada mashlahat baginya untuk menikahi wanita janda, karena telah disebutkan dalam satu riwayat bahwasanya Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata:

تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَقِيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: يَاجَابِرُ، تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ : بِكْرٌ أَمْ َثيِّبٌ؟ قُلْتُ: ثَيِّبٌ. فَهَلاَّ بِكْرًا تُـلاَعِبُهَا؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله إِنَّ لِيْ أَخَوَاتٌ، فَخَشِيْتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِيْ وَبَيْنِهِنَّ. قَالَ: فَذَاكَ إِذَنْ. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِيْنِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Aku telah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah?’ aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Dengan gadis atau janda?’ Aku menjawab, ‘Seorang janda.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak memilih seorang gadis sehingga engkau dapat bercanda dengannya?’ Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku me-miliki beberapa saudara perempuan sehingga aku takut akan terjadi kesalahpahaman.’ Maka beliau bersabda, ‘Jika demikian adanya, maka tidak masalah. Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agama, harta dan kecantikannya, maka nikahilah wanita yang taat beragama niscaya engkau akan bahagia.” [5]

3. Wanita yang subur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

(تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ).

“Nikahilah wanita yang subur peranakannya dan penyayang, sebab aku akan berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah kalian yang banyak.” [6]