29 December 2012

Muslimah juga wajib menuntut ilmu agama

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

WANITA MUSLIMAH JUGA WAJIB BELAJAR ILMU SYAR'I

Oleh
Prof. Dr. Shalih As-Sadlan

Seorang penyair melantunkan:

وَإِذَ النِّسَاءُ نَشَأَتْ فِيْ أُمِّيَةٍ رَضَعَ الرِّجَالُ جَهَالَةُ وَخُمُولاً

Apabila wanita tumbuh dalam kebodohan,
maka kaum laki-laki menelan kebodohan dan kelemahan.

Wanita merupakan bagian dari elemen masyarakat. Sehingga secara otomatis, mereka juga memiliki andil dan tugas dalam menata dan memperbaiki masyarakat. Tidak ada keraguan lagi, untuk melaksanakan tanggung jawab dalam membina diri sendiri dan masyarakat, mutlak membutuhkan ilmu. Konsekuensinya, kaum wanita juga harus memiliki ilmu untuk menjalankan tanggung-jawab tersebut. Karenanya, ia bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan ibadah shalatnya, ibadah puasanya, pembayaran zakatnya, ibadah hajinya, usaha pemurnian aqidahnya, aktifitas amar ma'ruf nahi munkar dan semangat berlomba dalam setiap kebaikan. Ringkasnya, seluruh kandungan risalah Islam yang termaktub dalam Al-Qur`ân maupun Hadits tentang kewajiban seorang muslim, memiliki makna bahwa wanita juga berkewajiban untuk mempelajari dan mengajarkannya, baik secara teori maupun dalam amaliah nyata.

Semua orang telah memahami bahwa ajaran Islam memuat unsur ibadah, qiyâdah (penataan), siyâsah (pembinaan masyarakat) dan sosial kemasyarakatan, ekonomi dan semua sendi kehidupan. Untuk menelaah dan mendalami semua itu, tidak begitu saja bisa diperoleh tanpa usaha. Namun harus dengan upaya pembelajaran dan berguru. Karenanya, mempelajari ajaran Islam –sebuah agama yang mempunyai cakupan ilmu yang luas, integral, mendalam lagi beragam– menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Sehingga tidak mengherankan apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

"Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim".

Namun kenyataannya, ada saja yang berkomentar dengan sekedar bersandar pada tekstual hadits belaka tentang hukum wanita menuntut ilmu adalah nâfilah (sunnat) semata dan bukan wajib. Padahal sebenarnya kata "muslim" dalam hadits di atas bermakna orang yang telah beriman kepada risalah Islam baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sehingga penakwilan semacam itu merupakan pemaknaan yang tidak benar. Oleh karena itu, Islam menaruh perhatian yang khusus pada pendidikan dan ilmu syar'i yang bermanfaat bagi mereka.

Bagi yang memperhatikan risalah Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pastilah ia bisa mengetahui bahwa Islam dengan seluruh kandungan perintah dan larangannya, tidak dibatasi hanya untuk kalangan kaum Adam saja. Akan tetapi, kaum Hawa juga menjadi bagian dari perintah dan larangan risalah tersebut. Semua nash dalam al-Kitab dan as-Sunnah memberikan penjelasan adanya kesamaan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan dalam semua hal, kecuali beberapa hal saja yang memang sudah menjadi kekhususan masing-masing. Bahkan terdapat dalil yang jelas menerangkan beban syariat yang secara khusus hanya diarahkan kepada kaum wanita, sebagaimana tertera dalam Al-Qur'ân:

"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)" [al-Ahzâb/33:34].

Begitu pula yang dikatakan Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat:

وقلن قولأ معر فا

"(dan ucapkanlah perkataan yang baik - al-Ahzâb/33 ayat 32)", maksudnya, perintahkan kepada mereka untuk ikut serta beramar ma'ruf nahi munkar.

Maka, di antara peran terpenting bagi para wanita yang berkiprah di medan dakwah, yaitu mengajarkan ilmu syar'i, memberikan pengarahan dan bimbingan, dan melakukan tarbiyah dan pembinaan. Terlebih lagi dalam menangani urusan rumah tangga dan urusan suami, ia sama halnya dengan seorang wanita yang bergerak dalam aktifitas-aktifitas dakwah, secara tidak langsung memiliki peran penting melalui tutur-tutur katanya yang tertulis maupun terekam. Dengan itu, ia telah mengerahkan tenaga dan pikiran sebagai sumbangsihnya bagi agamanya.

artikel penuh di http://almanhaj.or.id/content/2604/slash/0/wanita-muslimah-juga-wajib-belajar-ilmu-syari/

24 December 2012

Doa Mustajab Hari Jumaat

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

Berdoa Di Waktu-Waktu Mustajab

8. Di hari Jum’at
 
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
 
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat. Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:
هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة
Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu).
Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.
 
Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:
يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر

Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.
 
Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.
 
Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.
 
artikel penuh berkenaan waktu doa mustajab di;

18 December 2012

Bahaya Melawan Terhadap Pemerintah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Bahaya Khuruj (Melawan) Terhadap Pemerintah
 
Oleh;
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Gerakan khuruj (pemberontakan) dan inqilab (melancarkan rampasan kuasa) terhadap suatu pemerintahan (yang sah) bukanlah cara untuk memperbaiki masyarakat. Bahkan justru memicu timbulnya kerusakan di tengah masyarakat.

Khuruj terhadap pemerintah muslim, bagaimana pun tingkat kezhalimannya, merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus Sunnah (Wal Jama'ah). Ada dua macam bentuk khuruj, (1). Khuruj dengan memanggul senjata (2). Khuruj dengan perkataan dan lisan.(ini adalah kes di Malaysia: diedit oleh abufaruq)
Mereka yang selalu memunculkan perpecahan, pertikaian, dan pergolakan terhadap pemerintahan muslim, pada hakikatnya telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan tersebut. padahal, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar, sebagaimana sabda beliau.

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَان متفق عليه.

"Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah". [Muttafaq 'alaih]
Renungkanlah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kecuali engkau melihat suatu kekufuran". Penuturan beliau tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi diiringi dengan keterangan "kekufuran yang sangat jelas". Lantas beliau menambahkan keterangan lebih lanjut" yang dapat engkau buktikan tentang itu di sisi Allah".

Di dalam hadits ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan lima buah penekanan untuk mencegah orang dari khuruj dan takfir (mengkafirkan pemerintah atau pun individu muslim) yang merupakan perbuatan sangat buruk dan berbahaya. Karena dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran di tengah masyarakat.

Bahkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya, I'lamul Muwaqqi'in : "Tidak ada satu pemberontakan pun terhadap pemerintah muslim yang membawa kebaikan terhadap umat pada masa kapan pun".

Begitu juga hujatan/celaan terhadap pemerintah. Manakala sebagian orang menjadikan hujatan terhadap pemerintah sebagai materi ceramah dan "nasihat-nasihat" yang mereka sampaikan untuk memperoleh simpati manusia. Manusia pada dasarnya menyukai hujatan terhadap pemerintah, juga terhadap para penguasa dan pemimpin, serta kepada setiap orang yang mempunyai posisi lebih tinggi dari mereka. Seakan-akan hujatan dan celaan tersebut sebagai hiburan yang dapat menyenangkan hati mereka.

Sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan ketika kita menyaksikan hujatan, makian, serta cercaan terhadap pemerintah, saat ini menjadi materi-materi ceramah dan "masukan" bagi sebagian da'i zaman sekarang, khususnya pada waktu terjadinya fitnah. Hingga materi yang mereka sampaikan akan membuat orang-orang berkomentar :"Masya Allah, Syaikh ini orang yang berani, atau Syaikh ini orang yang kuat". Padahal fakta ini sesungguhnya tidak mendatangkan manfaat apa pun, melainkan hanya akan menghasut dan mengotori jiwa.

Sebagian orang justru mengira, tindakan tersebut merupakan bentuk upaya menasehati pemerintah. Padahal terdapat metode dan prosedur dalam menasehati pemerintah, seperti termaktub dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ كَانَ عِنْدَهُ نَصِيْحَةٌ لِذِيْ سَلْطَانٍ فَلْيَذْهَبْ إِلَيْهِ وَ لْيُِسرَّهَا لَهُ

"Barangsiapa di antara kalian yang ingin menasehati penguasa, maka hendaklah dia pergi kepadanya, dan merahasiakan nasihatnya itu".

artikel penuh di: http://almanhaj.or.id/content/2481/slash/0/bahaya-khuruj-melawan-terhadap-pemerintah/

17 December 2012

Jamak Solat kerana Jalan Sesak, traffic jem

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم

sumber:

Dibolehkan menjamak shalat ketika macet jika kedua shalat yang ada boleh dijamak. Jika tidak bisa, boleh mengerjakan shalat di atas kendaraan jika memang tidak memungkinkan turun dari kendaraan dan shalat tersebut tidak bisa dijamak dengan waktu shalat berikutnya. Namun sekali lagi ini dilakukan selama tidak jadi kebiasaan. Sebisa mungkin seorang muslim mengerjakan shalat ketika sudah masuk waktunya sebelum ia naik kendaraan jika yakin di tengah perjalanan akan mendapati macet dan bisa luput dari waktu shalat.

makluman: MACET= kesesakan/traffic jem

artikel penuh: sila klik link di atas;

Untuk menjawab dan memberikan solusi untuk masalah macet ini, maka kami dapat membagi ada dua keadaan ketika macet:

(1) Jika mampu shalat sebelum naik kendaraan dan sudah masuk waktu shalat
Jika seseorang memprediksi bahwa ia bisa luput dari shalat ‘Ashar atau shalat lainnya karena jalanan yang macet, maka ia bersegera mengerjakan shalat tersebut sebelum ia menaiki kendaraan jika sudah masuk waktu shalat. Dengan melakukan seperti ini, maka niscaya ia tidak akan luput dari shalat ketika macet. Namun demikianlah, banyak yang tidak perhatian dengan shalat. Ketika sudah dikumdangkan adzan, malah ia memilih untuk menaiki kendaraannya dan meninggalkan tempat kerja. Alhasil, ia pun terkena macet di jalanan dan baru shalat setelah sampai di rumah saat sudah keluar waktunya. Ini namanya kesengajaan dan menyia-nyiakan waktu shalat.

(2) Naik kendaraan sebelum masuk waktu shalat, lalu terkena macet di jalanan dan tidak bisa turun dari kendaraan, juga khawatir luput dari waktu shalat

Jika keadaan seperti ini dan khawatir luput dari waktu shalat, maka pillihan pertama adalah menjamak shalat. Ini berlaku jika shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat lainnya seperti Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan Isya. Jika shalatnya bisa dijamak, maka boleh memilih menjamak di waktu kedua meskipun saat itu ia bukan musafir.Karena jamak dibolehkan ketika hajat (dibutuhkan) meskipun tidak bepergian. Contoh dari hal ini adalah ketika terkena macet saat waktu Maghrib dan waktu tersebut sangat mepet. Maka boleh shalat Maghrib tersebut dijamak dengan shalat Isya’. Artinya, shalat Maghrib diakhirkan ke waktu kedua, yaitu saat waktu ‘Isya.

Jika shalatnya tidak bisa dijamak, misalnya kena macet ketika waktu ‘Ashar, dan ‘Ashar tidak mungkin dijamak dengan shalat Maghrib, maka saat itu yang dilakukan adalah pilihan kedua yaitu dengan shalat di atas kendaraan. Jika mampu berdiri, maka dikerjakan dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk lalu ia shalat dengan beri isyarat untuk ruku’ dan sujudnya. Jika ia tidak punya wudhu, maka diganti dengan tayammum. Ketika itu tidak boleh shalat ‘Ashar tersebut diakhirkan ke waktu Maghrib karena kedua shalat tersebut tidak bisa dijamak. Alangkah baiknya jika seorang muslim bisa menjaga wudhunya setiap saat sehingga di kendaraan ia tidak bingung lagi untuk bersuci. Namun jika wudhunya batal dan tidak ada air, maka tayammum sebagai pilihan pengganti.

Dalil yang menyatakan bolehnya jamak ketika mukim atau tidak bepergian adalah hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. قِيلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ : مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, juga Maghrib dan ‘Isya di Madinah, bukan karena rasa takut dan bukan pula karena hujan.” Ada yang bertanya pada Ibnu ‘Abbas, “Apa yang diinginkan beliau melakukan seperti itu?” Jawab Ibnu ‘Abbas, “Beliau tidak ingin umatnya itu mendapat kesulitan.” (HR. Muslim no. 705).
Terdapat penjelasan berharga pula dari kitab Kifayatul Akhyar, kitab fikih Syafi’i sebagai berikut,
قال النووي: القول بجواز الجمع بالمرض ظاهر مختار، فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم {جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر} قال الاسنائي: وما اختاره النووي نص الشافعي في مختصر المزني ويؤيده المعنى أيضاً فإن المرض يجوز الفطر كالسفر فالجمع أولى بل ذهب جماعة من العلماء إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وبه قال أبو إسحاق المروزي ونقله عن القفال وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر من أصحابنا وبه قال أشهب من أصحاب مالك، وهو قول ابن سيرين، ويشهد له قول ابن عباس رضي الله عنهما أراد أن لا يحرج أمته حين ذكر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم {جمع با لمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا مطر} فقال سعيد بن جبير: لم يفعل ذلك؟ فقال:لئلا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره
“Menurut Imam Nawawi, pendapat yang membolehkan jamak shalat bagi orang sakit, sudah jelas jadi pilihan yang tepat. Dalam shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah bukan karena kondisi terganggunya keamanan, hujan lebat, dan bukan pula karena sakit. Menurut Imam Asna’i, pilihan Imam Nawawi didasarkan pada pendapat Imam Syafi‘i yang tercantum dalam kitab Mukhtasar Imam Muzanni. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah perbandingan di mana alasan sakit layaknya perjalanan jauh menjadi alasan sah untuk membatalkan puasa. Kalau puasa saja boleh dibatalkan, maka menjamak shalat tentu dibolehkan. Bahkan sekelompok ulama membolehkan jamak bagi hadirin (orang mukim, yang tidak bersafar) untuk sebuah hajat. Dengan catatan, ini tidak menjadi sebuah kebiasaan. Abu Ishak Al Maruzi memegang pendapat ini. Ia mengutipnya dari Qaffal yang diceritakan oleh Al Khatthabi dari para ulama hadits. Ibnul Munzir Syafi‘i dan para pengikut Imam Malik menganut pendapat tersebut. Pendapat tersebut juga menjadi pendapat Ibnu Sirin. Hal ini dikuatkan dengan hadits Ibnu ‘Abbas (sebagaimana dikemukakakan di atas, -pen)."

Intinya, dibolehkan menjamak shalat ketika macet jika kedua shalat yang ada boleh dijamak. Jika tidak bisa, boleh mengerjakan shalat di atas kendaraan jika memang tidak memungkinkan turun dari kendaraan dan shalat tersebut tidak bisa dijamak dengan waktu shalat berikutnya. Namun sekali lagi ini dilakukan selama tidak jadi kebiasaan. Sebisa mungkin seorang muslim mengerjakan shalat ketika sudah masuk waktunya sebelum ia naik kendaraan jika yakin di tengah perjalanan akan mendapati macet dan bisa luput dari waktu shalat.

Demikian bahasan kami, moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

12 December 2012

Alat pencegah hamil

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
PENCEGAH KEHAMILAN
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:

1. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyakjumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.

2. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengaturjarak kehamilannya menjadi dua tahunsekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.

PENGGUGUR KANDUNGAN
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:

1. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, Sunnah dan ijma' kaum Muslimin. Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya sebelum benrmur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.

Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A 'lam.

2. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:

A. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian, karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.

B. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.

C. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.

D. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini,jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.

Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".

Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.

Wallahu a'lam. 
 
Penulis
Muhammad Shalih Al-Utsaimin
Jum’at, 14 Sya’ban 1392H

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 58 - 64 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA]
 
 

 

11 December 2012

Berlebih-lebihan dalam agama (Ghuluw)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

BEBERAPA ISTILAH UNTUK SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM AGAMA.
Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:

1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]

2. Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."[4]

Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."[5]

3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا

“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]

4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [Shâd/38:86]

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]

SEBAB MUNCULNYA SIKAP GHULUW.
Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:

1. Kebodohan dalam agama. Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.

2. Taqlîd (ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.

3. Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.

4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.
sumber:http://almanhaj.or.id/content/3435/slash/0/fenomena-ghuluw-melampaui-batas-dalam-agama/

01 December 2012

Kebenaran itu pada Qur'an

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

Berikut ini dipaparkan sebagian dari standarisasi kebenaran dalam Islam, sesuai dengan apa yang diamalkan dan dipraktekkan oleh generasi terbaik umat ini; yang selanjutnya diikuti oleh para Ulama terkemuka pada setiap generasi mereka.

1. Berpegang kepada al-Qur’ân. Meyakininya sebagai wahyu yang mutlak kebenarannya. Maka segala pendapat dan pandangan yang bertentangan dan berseberangan dengan kebenaran al-Qur’ân dinyatakan sesat dan batil secara mutlak.

قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ فَهُوَ هَذَيَانٌ» (أخرجه البيهقي في «مناقب الإمام الشافعي(

Imam Syafi'i berkata: "Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan"[1]
.
قَالَ الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ..."

Al Muzany dan ar-Rabî' berkata: “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi'i, tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi'i: “Aku ingin bertanya.” Jawab Imam Syâfi'i: “Silakan.” Lalu ia berkata: “Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?” Maka Imam Syâfi'i menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’ân).” Ia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Jawab Syâfi'i: “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam " “[2]

Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi'i sangat mengagungkan al-Qur’ân dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi'i mestinya setiap orang menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman saat menentukan sebuah hukum atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah kebingungan. Orang tersebut adalah sibingung yang membuat kebingungan di tengah masyarakat.

Betapa banyaknya orang zaman sekarang yang membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Bahkan menurut Imam Syâfi'i pendapat dan pemahaman yang tidak berdasarkan kapada dalil al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bisikan-bisikan setan. Betapa banyak di zaman sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.

قَالَ الْمُزَنِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ "مَنْ تَعَلَّم َاْلقُرآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ"

Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi'i berkata: "Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’ân telah tinggi kedudukannya"[3] .

Demikianlah, Imam Syâfi'i rahimahullah sangat menghargai orang-orang yang mempelajari al-Qur’ân, sebagai motivasi bagi mereka agar bersungguh-sungguh untuk mempelajari al-Qur’ân. Sekaligus menegaskan kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum al-Qur’ân. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang yang mempelajari al-Qur’ân dan merendahkan derajat orang yang tidak mau mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا اْلكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

Sesungguhnya Allah meninggikan dengan kitab ini (al-Qur’ân) kedudukan beberapa kaum dan merendahkan dengannya kedudukan yang lain. [HR. Muslim]

Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang mau menerima ajaran al-Qur`ân dan berjuangan untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia. Sebaliknya Allah Azza wa Jalla hinakan dan rendahkan derajat orang yang menetang ajaran al-Qur’ân atau merendahkan orang-orang mengamalkannya dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.

Sebagian orang di masa sekarang ada yang meremehkan orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân dalam berakidah, beribadah, bermu'alah dan berakhlak. Apalagi yang mengajak untuk menjalankan al-Qur’ân dalam segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum terbelakang dan anti moderenisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan dusta. Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran al-Qur’ân justru disanjung dan dipuji. Bahkan sebahagian mereka berani mengatakan bahwa sebab keterbelakangan adalah akibat menjalankan al-Qur’ân. Mereka menganggap teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada al-Qur’ân. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ini adalah suatu kekufuran dan kebohongan yang nyata terhadap al-Qur’ân.

Hal ini tidak beda dengan sikap kaum kafir, mereka sudah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka. Mereka tidak merasa perlu lagi dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh rasul-rasul. Justru, mereka memandang enteng dan memperolok-olok keterangan yang dibawa rasul-rasul itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang senantiasa mereka perolok-olokkan [al-Mukmin/40:83]

Banyak sekali ayat maupun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang wajibnya berpegang kepada al-Qur’ân.
Di antaranya, firman Allah Azza wa Jalla :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A`râf/7:3]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ

Dan sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kalian sesuatu, kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang dengannya, yaitu kitab Allah. [HR. Muslim]

sumber: http://almanhaj.or.id/content/3439/slash/0/standarisasi-kebenaran-dalam-islam/

25 November 2012

Saudariku, Inilah Kemuliaanmu!

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Oleh:Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni
 
Syaikh Shâlih al-Fauzân hafidzahullâh berkata: "Wanita Muslimah memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, sehingga banyak tugas mulia yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi n selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita[3] , seperti khutbah yang beliau sampaikan di Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu….[5]

Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap kaum perempuan adalah dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum syariat, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.[6]

Adapun perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hukum syariat, ini justru menunjukkan kesempurnaan Islam. Karena, agama ini benar-benar mempertimbangkan perbedaan kondisi laki-laki dan perempuan, untuk menetapkan hukum-hukum yang sangat sesuai dengan keadaan dan kondisi keduanya.

Inilah bukti bahwa syariat Islam benar-benar ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana, yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui [al-Mulk/67:14]

Ini semua menunjukkan bahwa agama Islam benar-benar ingin memuliakan kaum perempuan, karena Islam menetapkan hukum-hukum yang benar-benar sesuai dengan kondisi dan kodrat mereka. Dengan mengamalkan semua itu mereka akan mendapatkan kemuliaan yang sebenarnya.

Ketika menjelaskan hikmah yang agung ini, Syaikh Bakr Abu Zaid hafidzahullâh berkata: " Dialah Allah Azza wa Jalla yang menetapkan dan menakdirkan bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan dalam ciri, bentuk, dan kekuatan fisik. Laki-laki memiliki fisik dan watak yang lebih kuat, sedangkan perempuan lebih lemah dalam (kondisi) fisik maupun wataknya…

Dua macam perbedaan inilah yang menjadi sandaran bagi sejumlah besar hukum-hukum syariat. Dengan hikmah-Nya yang tinggi Allah Azza wa Jalla yang Maha Mengetahui segala sesuatu dengan terperinci, telah menetapkan adanya perbedaan dan ketidaksamaan antara laki-laki dengan perempuan dalam sebagian hukum-hukum syariat, yaitu dalam tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan bentuk fisik, serta kemampuan masing-masing dari kedua jenis tersebut (laki-laki dan perempuan) untuk menunaikannya. Demikian pula sesuai dengan kekhususan masing-masing dari keduanya pada bidangnya dalam kehidupan manusia, agar sempurna tatanan kehidupan ini, dan agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya.
 

13 November 2012

WALA' KEPADA KAUM MU'MININ

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan dalam Majmu' Fatawa : Wajib bagi mu'min (bila memberikan permusuhan), hendaknya memberikan permusuhan karena Allah. Dan (bila memberikan loyalitas, Pen) hendaknya memberikan loyalitas karena Allah. Apabila terdapat seorang mu'min lain, maka mu'min pertama wajib memberikan kasih-sayang dan loyalitas kepada mu'min lain itu, meskipun ia menzhaliminya. Sebab kezhaliman semacam itu tidak memutuskan tali loyalitas imaniyah (keimanan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا – الآية -إلى قوله تعالى- إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min saling berperang, maka damaikanlah diantara keduanya …-sampai dengan firman Allah Ta'ala- (artinya): Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara. [Al Hujurat:9,10].

Pada ayat itu Allah menjadikan kaum mu'minin tersebut bersaudara, meskipun ada peperangan dan tindakan melampaui batas. Sekaligus Allah memerintahkan agar mereka bisa berdamai kembali. Maka seorang mu'min hendaknya merenungkan adanya perbedaan antara dua macam keadaan ini (keadaan persaudaraan di satu sisi dan keadaan peperangan di sisi lain, Pen). Sebab, seringkali satu sama lain menjadi tidak jelas.

Hendaknya Anda memahami, bahwa Anda wajib memberikan kasih-sayang, pembelaan dan loyalitas kepada orang mu'min, meskipun ia mezhalimi dan memusuhi Anda. Sebaliknya, Anda wajib memusuhi orang kafir, sekalipun ia suka memberi dan berbuat baik kepada Anda. Sesungguhnya, Allah l mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya dengan maksud, supaya agama menjadi agama Allah semuanya (maksudnya supaya tidak ada agama lain selain agama Allah, Pen). Sehingga kecintaan hanya diberikan kepada wali-wali (orang-orang yang dicintai)Nya, dan siksa diberikan kepada musuh-musuhNya.

Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya: Apabila pada diri satu orang terdapat kebaikan dan keburukan, kejahatan, ketaatan dan kemaksiatan, serta terdapat sunnah dan bid'ah, maka ia berhak mendapat kasih-sayang dan pahala sesuai dengan ukuran kebaikannya. Namun sekaligus berhak mendapat permusuhan dan siksa sesuai dengan ukuran keburukannya.

Jadi, bisa saja pada diri satu orang terdapat hal-hal yang menyebabkan ia harus mendapat penghormatan dan sekaligus penghinaan. Sebagai contoh, seorang pencuri yang miskin. Di satu sisi ia dipotong tangannya, namun pada sisi lain ia mendapat santunan dari Baitul Mal sesuai dengan kebutuhan yang dapat mencukupinya. Inilah prinsip yang telah menjadi kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. [8]

Apa yang dikemukakan Syaikhul Islam di atas memberikan pengertian bahwa wala' kepada sesama muslim tidak berarti harus total, mutlak dan habis-habisan. Harus dilihat sejauh mana kadar keimanan seseorang dan kadar kebaikannya. Ini persoalan yang sangat logis dan tidak bertentangan dengan fitrah. Dan memang, demikian itulah tuntunan syari'at. Orang fasik dibenci sesuai dengan kefasikannya. Begitu pula Ahlu Bid'ah. Tidak ada wala' kepada Ahlu Bid'ah, kecuali karena ia masih sebagai muslim. Bahkan permusuhan kepada Ahlu Bid'ah akan lebih sengit daripada kepada ahli maksiat yang bukan Ahli Bid'ah.

Itulah sebabnya Syaikhul Islam menjelaskan: Ini merupakan alasan hakiki bagi apa yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf dan para imam, bahwa "para juru dakwah bid'ah yang mendakwahkan bid'ah-bid'ahnya, tidak diterima kesaksiannya, tidak boleh berma'mum kepada mereka dalam shalat, tidak boleh mengambil ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahkan dengan mereka.

Demikian ini dilakukan sebagai hukuman bagi mereka supaya berhenti dari kegiatan menyebarkan bid'ah. Karena itu, ada pembedaan antara Ahlu Bid'ah yang da'i dengan yang bukan da'i. Sebab Ahlu Bid'ah yang da'i, memunculkan kemungkaran-kemungkaran. Karenanya perlu mendapat hukuman. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan bid'ahnya, ia tidak lebih buruk dari orang-orang munafik, yang oleh Nabi n tetap diterima keadaan lahiriah mereka, sedangkan rahasia batin mereka diserahkan kepada Allah. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui keadan kebanyakan para munafik itu.

Oleh sebab itulah, ada hadits yang menjelaskan, bila kemaksiatan masih tersembunyi, ia tidak akan membahayakan pihak lain. Akan tetapi, bila (kemaksiatan) sudah disebar luaskan kemudian tidak diingkari, maka akan membahayakan masyarakat umum. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الَّناسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ (رواه أحمد)

Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran tetapi tidak mau merubahnya, maka sudah dekat saatnya Allah akan menimpakan hukuman siksa secara merata. [HR. Ahmad, lihat Shahih Jami’ Shagir no. 1974] [9].

Manakah ada kemungkaran yang lebih besar daripada bid'ah kecuali syirik? Namun dalam kaitannya dengan hajr (tindakan isolasi) terhadap Ahlu Bid'ah atau orang-orang fasik, tetap harus melihat maslahat dan mafsadat. Jika dengan tindakan mengisolasi Ahlu Bid'ah berakibat maslahat, misalnya kegiatan bid'ah jadi melemah, maka tindakan itu disyari'atkan. Tetapi jika tidak membawa maslahat, maka tindakan itu tidak disyari'atkan. Seperti yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pada Majmu' Fatawa, juz 28 halaman 206 dan seterusnya.

Kesimpulannya, meski seseorang adalah seorang muslim, namun jika tindakannya menyimpang dari aturan syari'at, atau Ahlu Bid'ah, apalagi menyebar luaskan bid'ah, atau mengajarkan faham-faham yang salah, walaupun mengatas-namakan dakwah dan perjuangan, tetap tidak berhak mendapatkan kasih-sayang, pembelaan, dukungan dan loyalitas yang diharapkan. Bahkan perlu ditentang. Yang berhak mendapat pembelaan, kasih-sayang serta loyalitas yang sempurna adalah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Musa Aal Nasr, ketika beliau memberikan keterangan tentang cara meraih kemenangan. Beliau berkata,”Harus memberikan wala'; kasih-sayang, pembelaan, kesetiakawanan dan kecintaan kepada Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, serta memberikan permusuhan kepada para pengikut hawa nafsu dan Ahli Bid'ah." [10]

Demikianlah sekelumit permasalahan wala' wal bara' dan solidaritas dengan sesama kaum Muslimin. Bila kaum Muslimin kembali kepada ajaran Al Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, niscaya hubungan akan harmonis dan indah. Kapankah itu terwujud?

Wallahu al Musta'an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
 
lanjutan artikel di almanhaj

03 November 2012

Siapakah Lelaki Pilihan?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Apabila seorang lelaki dianjurkan untuk mencari wanita berkriteria seperti yang telah kami sebutkan di atas, maka bagi wali wanita juga berkewajiban untuk mencari lelaki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Abu Hatim al-Muzani Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَكُـمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

‘Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak wanita kalian), jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [7]

Dan tidaklah mengapa apabila seorang wali menawarkan puteri atau saudara wanitanya kepada orang-orang yang shalih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhuma ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah pada saat sekarang.’ ‘Umar berkata, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun dan pada saat itu aku merasa lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Beberapa hari berlalu sampai kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminangnya, maka aku nikahkan ia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah akan tetapi aku tidak berkomentar apa-apa?’ ‘Umar menjawab ‘Ya’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu kecuali karena aku tahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarluaskan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau meninggalkannya, maka niscaya aku akan menerimanya.’”[8]

sumber: http://almanhaj.or.id/content/2226/slash/0/siapakah-wanita-pilihan-siapakah-lelaki-pilihan-khitbah-meminang/

01 November 2012

Siapakah Wanita Pilihan ?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
 
Barangsiapa yang ingin menikah, maka hendaknya ia mencari seorang wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Taat beragama, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Maka dapatkanlah wanita yang taat beragama niscaya kamu beruntung.” [4]

2. Masih gadis, kecuali jika ada mashlahat baginya untuk menikahi wanita janda, karena telah disebutkan dalam satu riwayat bahwasanya Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata:

تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَقِيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: يَاجَابِرُ، تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ : بِكْرٌ أَمْ َثيِّبٌ؟ قُلْتُ: ثَيِّبٌ. فَهَلاَّ بِكْرًا تُـلاَعِبُهَا؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله إِنَّ لِيْ أَخَوَاتٌ، فَخَشِيْتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِيْ وَبَيْنِهِنَّ. قَالَ: فَذَاكَ إِذَنْ. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِيْنِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Aku telah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah?’ aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Dengan gadis atau janda?’ Aku menjawab, ‘Seorang janda.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak memilih seorang gadis sehingga engkau dapat bercanda dengannya?’ Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku me-miliki beberapa saudara perempuan sehingga aku takut akan terjadi kesalahpahaman.’ Maka beliau bersabda, ‘Jika demikian adanya, maka tidak masalah. Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agama, harta dan kecantikannya, maka nikahilah wanita yang taat beragama niscaya engkau akan bahagia.” [5]

3. Wanita yang subur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

(تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ).

“Nikahilah wanita yang subur peranakannya dan penyayang, sebab aku akan berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah kalian yang banyak.” [6]
 

27 October 2012

Ketika Rumah adalah Penjara bagi wanita

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya :

هل من كلمة للنساء اللاتي يعتبرن بأن المنزل سجن؟

“Apakah ada nasihat (yang dapat engkau sampaikan) bagi wanita yang menganggap rumah adalah penjara (bagi mereka) ?”.

Beliau rahimahullah menjawab :

نعم , الكلمة أن أقول لها , للمرأة الذي جعل البيت سجنا إن صح التعبير هو الله عز وجل .قال الله تعالى (وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ).

وفي الحديث عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم في النساء (بيوتهن خير لهن) والمرأة في بيتها طليقة , تذهب إلى كل ناحية من البيت , وتعمل حوائج البيت , وتعمل لنفسها فأين الحبس ؟ أين السجن ؟ نعم هو سجن على من تريد أن تفرح وان تكون كالرجل.

ومن المعلوم أن الله تعالى جعل للرجال خصائص, وللنساء خصائص وميز بين الرجال والنساء خلقة ,وخلقا ,وعقلاً ودينا حسب ما تقتضيه حدود الله عز وجل ونقول إن المرأة التي تقول إن بقاء المرأة في بيتها سجن أقول : إنها معترضة على قول الله تعالى (وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ) كيف نجعل ما أمر الله به سجنا لكنه كما قلت سجن على من تريد الفراهة والالتحاق بالرجال. وإلا فإنه سرور البقاء في البيت هو السرور وهو الحياء وهو الحشمة وهو البعد عن الفتنة وهو البعد عن تطلع المرأة للرجال لأن المرأة إذا خرجت ورأت هؤلاء الرجال هذا شاب جميل وهذا كهل جميل وهذا لابس ثيابا جميلة وما أشبه ذلك تفتتن بالرجال كما أن الرجال يفتتنون بالنساء .

فعلى النساء أن يتقين الله وأن يرجعن إلى ما قال ربهن وخالقهن وإلى ما قاله رسول رب العالمين إليهن وإلى غيرهن وليعلمن أنهن سيلاقين الله عز وجل وسيسألهن ماذا أجبتم المرسلين وهن لا يدرين متي يلاقين الله قد تصبح المرأة في بيتها وقصرها وتمسي في قبرها أو تمسى في بيتها وتصبح في قبرها ألا فليتقي الله هؤلاء النسوة وليدعن الدعايات الغربية المفسدة , فإن هؤلاء الغربيين لما أكلوا لحوم الفساد جعلوا العصب والعظام لنا نتلقف هذه العصب والعظام بعد أن سلب فائدتها هؤلاء الغربيون , وهم الآن يئنون ويتمنون أن تعود المرأة . بل أن تكون المرأة كالمرأة المسلمة في بيتها وحيائها وبعدها عن مواطن الفتن لكن أنى لهم ذلك , أنى لهم التناوش , من مكان بعيد أفيجدر بنا ونحن مسلمون لنا ديننا ولنا كياننا ولنا آدابنا ولنا أخلاقنا أن نلهث وراءهم تابعين لهم في المفاسد.

سبحان الله العظيم لا حول ولا قوة إلا بالله.

“Ya, ada nasihat yang hendak aku katakan kepada para wanita yang menganggap rumah sebagai ‘penjara’, seandainya ungkapan tersebut benar dari Allah ‘azza wa jalla. Allah ta’ala berfirman : ‘dan hendaklah kamu tetap di rumahmu’ (QS. Al-Ahzaab : 33). Dan dalam hadits yang berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam tentang wanita : ‘rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka’. Seorang wanita yang tinggal di rumahnya tidaklah dalam keadaan terikat. Ia bisa pergi kemanapun dari rumahnya, mengurus segala kebutuhan rumah, dan mengurus dirinya sendiri. Lantas, dimanakah sebenarnya letak tahanan dan penjara (sebagaimana yang dimaksudkan) ?. Benar, rumah adalah penjara bagi wanita yang menginginkan kebebasan seperti kaum laki-laki.

Termasuk hal yang telah diketahui bahwa Allah ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan kekhususan masing-masing, serta membedakan penciptaan, tabiat, akal, agama antara keduanya menurut apa yang telah ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan kami katakan : Sesungguhnya wanita yang mengatakan bahwa tinggalnya seorang wanita di rumahnya adalah penjara (bagi mereka), maka ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala : ‘‘dan hendaklah kamu tetap di rumahmu’ (QS. Al-Ahzaab : 33). Bagaimana bisa kita menganggap apa yang diperintahkan Allah sebagai penjara ?. Akan tetapi hal itu adalah seperti yang aku katakan : penjara bagi orang yang menginginkan keindahan dan pergaulan/campur baur dengan laki-laki. Pada hakekatnya, tinggal di rumah adalah satu kegembiraan, rasa malu, kehormatan, dan jauh dari fitnah. Selain itu juga jauh dari perbuatan menampakkan wanita di hadapan laki-laki (yang bukan mahram), karena seorang wanita apabila keluar rumah dan melihat laki-laki, ia akan berkata : ‘Ini adalah laki-laki tampan, ini adalah pemuda cakep, orang yang memakai pakaian itu ganteng, dan yang lainnya. Wanita tersebut terfitnah dengan laki-laki sebagaimana laki-laki juga terfitnah dengan wanita.

Oleh karena itu, para wanita mestilah bertaqwa kepada Allah dan kembali pada apa yang difirmankan oleh Rabb dan Khaaliq mereka, serta (kembali) pada apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dan kepada selain mereka (dari kalangan laki-laki). Dan hendaknya mereka mengetahui bahwa kelak mereka akan berjumpa dengan Allah ‘azza wa jalla dan Allah akan bertanya kepada mereka : ‘Apa yang kalian sambut dari seruan para Rasul ?’. Mereka tidak mengetahui kapan mereka akan meninggal menjumpai Allah ‘azza wa jalla. Mungkin di pagi hari ia masih ada di rumahnya, namun di sore hari sudah tergolek di liang kuburnya; atau di sore hari ia masih ada di rumahnya, namun di pagi hari sudah tergolek di liang kuburnya. Hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan propaganda Barat yang merusak ! Karena ketika para penyeru dari kalangan Barat itu makan daging busuk, mereka meninggalkan sisa urat dan tulangnya untuk kita makan setelah intisarinya mereka habiskan. Orang-orang Barat dewasa ini berharap dan ingin mengembalikan wanita mereka seperti wanita muslimah yang tinggal di rumah mereka, mempunyai rasa malu, dan jauh dari tempat-tempat fitnah. Akan tetapi, itu tidak akan terjadi pada mereka. Maka, apakah pantas bagi kita sebagai muslim yang mempunyai agama (yang benar), perilaku, adab, dan akhlaq yang terpuji; untuk menjulurkan lidah di belakang mereka sebagai pengekor dalam kerusakan ?.

Maha Suci Allah Yang Maha Agung, tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah.....

[sumber : transrip siaran radio Nuur ‘alad-Darb : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=128088].
 

18 October 2012

10 hari pertama bulan zulhijjah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH


Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar


Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ...

“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]

Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:

1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]

3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]

4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.

5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.

6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]
rujukan: http://almanhaj.or.id/content/3404/slash/0/keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/

artikel lainyang berkaitan:
http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/3247-6-amalan-utama-di-awal-dzulhijah.html

http://rumaysho.com/belajar-islam/amalan/4103--haji-puasa-dan-dzikir-di-10-hari-pertama-dzulhijjah-.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+rumaysho%2FrFAC+%28Feed+Rumaysho.com%29

08 October 2012

Sebab terjadi bencana musibah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali Hafizhahullah



Pertanyaan.
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali Hafizhahullah ditanya : Apakah bencana-bencana yang terjadi, khususnya di Indonesia, termasuk adzab Allah, karena Indonesia merupakan negara yang tidak sepenuhnya memberlakukan syari'at agama secara baik dan benar?

Jawaban
Musibah-musibah yang terjadi menimpa umat ini, ada dua bentuk penyebab. Bisa merupakan hukuman atau penebus dosa. Jika merupakan hukuman, maka itu hukuman atas maksiat. Jika merupakan penebus dosa, maka sebagai penebus dosa terhadap pelaku maksiat. Ini menunjukkan, bahwa maksiat menjadi peyebab musibah-musibah yang menimpa umat.

Oleh karena itu, maka orang yang berakal, ia berhenti dari (berbuat maksiat). Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran. Dia mengambil pelajaran (musibah) yang menimpa orang lain sebelum menimpa dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu

"Artinya : Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dengan orang lain. Dan orang yang celaka adalah orang yang mengambil pelajaran dengan dirinya"

Jadi, musibah-musibah itu diakibatkan dari perbuatan-perbuatan maksiat. Ini disebutkan dalam banyak hadits, di antaranya hadits 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu 'anhu , bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Hai orang-orang Muhajirin; lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Alloh agar kamu tidak mendapatkannya :
- Tidaklah muncul perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka.
- Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan.
- Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezholiman pemerintah, kehidupan yang susah, dan paceklik.
Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Alloh, dan memilih-milih sebagian apa yang Alloh turunkan, kecuali Alloh menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka. [1]

Dan hadits:

"Artinya : Jika kamu berjual-beli dengan 'inah (sejenis riba), kamu memegangi ekor-ekor sapi, kamu puas dengan pertanian, dan kamu meninggalkan jihad, Allah pasti akan menimpakan kehinaan kepada kamu. Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu sehingga kamu kembali menuju agama kamu". [2]

Ini semua menunjukkan, bahwa kemaksiatan merupakan sebab di antara sebab-sebab musibah. Maka kewajiban umat yang menghormati dirinya sendiri dan yang mengambil pelajaran terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, hendaklah memperhatikan dirinya dan menjauhi kemaksiatan, baik sebagai individu atau sebagai bangsa. Karena sesungguhnya, yang menghancurkan bangsa-bangsa dan membinasakan umat-umat adalah dosa-dosa; dan sebelum itu dosa-dosa mematikan hati. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

sumber dan lanjutan artikel: http://almanhaj.or.id/content/2534/slash/0/penyebab-terjadinya-bencana-dan-bagaimana-bantuan-salafiyyin-atas-musibah-ini/
___________
Footnotes
[1]. Hadits ini kami dapati dengan lafazh :
"Artinya : Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Alloh agar kamu tidak mendapatinya.
- Perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) tidaklah dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah penyakit tho’un dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang dahulu yang telah lewat.
- Orang-orang tidak mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezholiman pemerintah.
- Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan.
- Orang-orang tidak membatalkan perjanjian Alloh dan perjanjian Rasul-Nya, kecuali Alloh akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
- Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Alloh, dan memilih-milih sebagian apa yang Alloh turunkan, kecuali Alloh menjadikan permusuhan di antara mereka". [HR Ibnu Majah no. 4019, al Bazzar, al Baihaqi; dari Ibnu 'Umar. Dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash-Shohihah no. 106, Shohih at-Targhib wat-Tarhib no. 764, Maktabah al Ma’arif]
[2]. HR Abu Dawud dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di dalam Silsilah ash-Shahihah no. 11

03 October 2012

Melihat Allah pada hari kiamat

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم

RU'YATULLLAH (MELIHAT ALLAH) PADA HARI KIAMAT

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Ahlussunah sepakat bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat adalah hak menurut Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama.
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:

يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ

Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya. [Insyiqa’ : 6]

Kata”Insan” dalam ayat di atas menunjukkan jenis yaitu anak Adam. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka berdalil dengan hadis Abi Said terdahulu, yang menyatakan bahwa manusia akan melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini adalah ru’yah yang umum kepada semua manusia.

Kedua;
Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.

Ketiga;
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:

كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya. [Al Mutaffifin :15]

Dan pendapat inilah yang paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa semua manusia bisa Ru'yatullah, yang dimaksud adalah yang pertama kali yaitu Ru'yatullah yang umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru'yatullah itu juga berbeda. Yang paling hakiki adalah Ru'yatullah di dalam surga yang menjadi tambahan bagi orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al Jabbar (Allah) mendatanginya dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk awal mereka melihatNya (Majmu’ Fatawa VI/503)”.

KESIMPULAN
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.

Ya Allah! perkenankan kami untuk bisa merasakan kenikmatan untuk melihat wajah-Mu yang agung, Amin!

Rujukan:
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah,Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru'yatullah ,DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd,cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H 

26 September 2012

Agar Buah Hati jadi Penyejuk Hati

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم

AGAR BUAH HATI MENJADI PENYEJUK HATI

Saya sertakan artikel untuk bacaan ibu bapa dan bakal ibu bapa. Bahawa sesungguhnya anugerah anak adalah satu amanah yang cukup besar dari Allah. Sama ada ia akan memberikan anda peluang yang cerah di akhirat kelak, atau ia bakal membinasakan anda.

Semoga Allah menjadikan anak-anak kita sebagai penyejuk hati dan mereka mampu mendoakan kita untuk kesejahteraan di akhirat kelak.

Zikri
FKE, UTM Skudai , Johor.
 

Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni


Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari yang merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak bagi pasutri(pasangan ibu bapa), sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti, kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan." [al-Kahfi/18:46].

Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah Azza wa Jalla mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka… [at-Taghâbun/64:14]

Makna "Menjadi musuh bagimu" adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Azza wa Jalla.[1]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hamba-Nya agar jangan sampai kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah Azza wa Jalla memotivasi hamba-hamba-Nya untuk selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…".[2]

Kewajiban Mendidik Anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. [at-Tahrîm/66:6]

Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata: "(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu".[3]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di berkata: "Memelihara diri dari api neraka adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak dari api neraka adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam, serta memaksa mereka untuk melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka seorang hamba tidak akan selamat dari siksaan neraka kecuali jika dia sungguh-sungguh melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla(dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawah kekuasaan dan tanggung jawabnya".[4]

Dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Hasan bin 'Ali Radhiyallahu anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu anhuma masih kecil, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Hekh…hekh" agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?".[5] Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, yaitu melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama); meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat; agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut.[6]

Metode Pendidikan Anak Yang Benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanîf (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)".[7]

Dalam hadits shahîh lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan".[8]

Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan berupaya keras memalingkan manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla sejak mereka dilahirkan ke dunia, Padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya; maka bagaimana keadaannya jikalau dia telah mengenal semua godaan tersebut? [9]

Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berhubungan dengan kelahiran seorang anak.[10]

Sebagai contoh misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi seorang suami yang akan menggauli istrinya untuk membaca doa:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

"Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang suami yang ingin menggauli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah Azza wa Jalla menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya".[12]

Dengan demikian, jelaslah bahwa syariat Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak, yang berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn berkata: "Yang menentukan keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan (taufik) dari Allah Azza wa Jalla. Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta (berusaha) menempuh metode yang sesuai dengan syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan memudahkan urusannya (dalam mendidik anak), Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya" [ath-Thalâq/65:4].[13] 

25 September 2012

Lakonan Iran bermusuh dengan Israel

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم

Saya petik artikel dari web almanhaj.or.id untuk bacaan kita semua. Bahawasanya Syiah memang berbahaya untuk golongan sunnah dan mereka hanya bersandiwara bermusuh dengan Israel dan Amaerika. Hakikatnya mereka sedang cuba berbohong.

Semoga Allah melindungi kita dari bahaya akidah syiah.

Zikri, Fakulti Kejuruteraan Elektrik, UTM.

SANDIWARA IRAN “BERMUSUHAN” DENGAN ISRAEL & AMERIKA
Di antara metode yang ditempuh oleh para penggiat agama Syi’ah ialah dengan memanfaatkan sandiwara yang berjudul : Iran “bermusuhan” dengan Negara Yahudi Israel dan Amerika.

Isu ini sangat efektif untuk menarik simpati umat Islam di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Sampai-sampai terkesan bahwa negara Iran yang notabene adalah penganut agama Syi’ah, adalah satu-satunya negara pembela kepentingan umat Islam di zaman sekarang.

Karenanya tatkala Indonesia yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB turut menyetujui resolusi no. 1747 yang hanya berisikan kecaman terhadap Iran atas kegiatannya pengayaan uranium, betapa solidaritas umat Islam di Indonesia begitu besar untuk menuntut Presiden SBY, sampai-sampai DPR mengajukan hak interpelasi.

Dengan adanya kejadian semacam ini, menjadikan masyarakat kurang peka terhadap berbagai trik para penggiat agama Syi’ah bahkan menjadi lebih terbuka untuk menerima berbagai keanehan ajaran mereka.

Saudaraku, agar Anda menjadi tahu apa sebenarnya isu “permusuhan” dengan bangsa Yahudi, saya mengajak saudara untuk merenungkan beberapa fakta berikut:

1. Iran adalah negara yang memiliki komunitas Yahudi terbesar setelah Israel. Menurut sumber resmi pemerintah Iran, jumlah pemeluk agama Yahudi di Iran berkisar antara 25- 30 ribu penduduk. Bahkan di kota Teheran ada lebih dari 10 Sinagogue (tempat ibadah umat Yahudi). Akan tetapi, masjid-masjid Ahlu Sunnah tidak satu pun yang mereka biarkan berdiri tegak di sana. Bukan sekedar itu saja, orang-orang Yahudi diberi ruang yang begitu istimewa, yaitu dengan diberikan kesempatan untuk memiliki perwakilan di parlemen. Sebagaimana umat Yahudi di Iran memiliki hak dan kebebasan yang sama dengan para penganut agama Syi’ah. Suatu hal yang tidak mungkin dirasakan oleh komunitas Ahlu Sunnah. Bahkan komunitas Yahudi Iran hingga saat ini bebas untuk berkunjung ke karib-kerabat mereka di Israel, tanpa ada gangguan sedikitpun, baik dari pemerintah Iran atau penduduk setempat. [1]

2. Adanya hubungan perdagangan antara Iran dan Israel. Sejak zaman Syah Pahlevi, Iran telah menjalin hubungan perdagangan dengan Israel. Dan hubungan dagang ini berkelanjutan hingga setelah revolusi Syi’ah yang dipimpin oleh Khumaini. Pada tahun 1982 M, Israel menjual persenjataan yang berhasil mereka rampas dari para pejuang Palestina di Lebanon dengan harga 100 juta dolar Amerika. [2]

Bahkan pada tahun 1980 s/d 1985, Israel merupakan negara pemasok senjata terbesar ke Iran. [3]

Sandiwara “permusuhan” Iran dan Israel mulai terbongkar, ketika pesawat kargo Argentina yang membawa persenjataan dari Israel ke Iran tersesat, sehingga masuk ke wilayah Uni Soviet, dan akhirnya ditembak jatuh oleh pasukan pertahanan Uni Soviet. Dikisahkan, Iran membeli persenjataan dari Israel seharga 150 juta dolar Amerika, sehingga untuk mengirimkan seluruh senjata tersebut, dibutuhkan 12 kali penerbangan.[4]

3. Perdagangan antara kedua negara (Iran & Israel) hingga kini juga terus berkelanjutan. Sebagai salah satu buktinya, harian Palpress News Agency (وكا لة فلسطينن برس للأنباء ) edisi 25/04/2009 melaporkan bahwa di kota Teheran, telah dipasarkan buah-buahan yang diimpor dari Israel.

4. Bila Anda mengikuti berita internasional, Anda pasti pernah membaca pemberitaan bahwa pada hari Selasa 12/1/2010 ahli nuklir Iran yang bernama Masoud Ali-Mohammadi yang berdomisili di kota Teheran ibu Kota Iran, tewas di dekat rumahnya akibat serangan bom. Kementerian Luar Negeri Iran langsung menuduh kaki tangan AS dan Israel di balik serangan bom itu.

Aneh bukan? Iran telah memiliki bukti bahwa Israel dan Amerika telah mengadakan serangan di Teheran dan telah menewaskan ahli nuklirnya. Walau demikian, tidak ada reaksi pemerintah Iran, dan para penganut Syi’ah tetap berdarah dingin dan tidak satupun tentara Iran yang dikirim untuk membalas serangan tersebut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
artikel penuh, sila klik disini.

24 September 2012

Alat muzik mengikut Imam Syafie

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 بسم الله الرحمن الرحيم


Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari madzhab Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.
Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi berkata dalam I’anatuth Tholibin (2: 280),

بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو والطرب المحرمة - كالوتر - فهو حرام يجب كف النفس من سماعه.
“Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.”

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj karya Ibnu Hajar Al Haitami disebutkan ,
( طُنْبُورٍ وَنَحْوِهِ ) مِنْ آلَاتِ اللَّهْوِ وَكُلِّ آلَةِ مَعْصِيَةٍ كَصَلِيبٍ وَكِتَابٍ لَا يَحِلُّ الِانْتِفَاعُ بِهِ
“Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya.” Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.

Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan,
( وَآلَاتُ الْمَلَاهِي ) كَالطُّنْبُورِ ( لَا يَجِبُ فِي إبْطَالِهَا شَيْءٌ ) ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا مُحَرَّمَةٌ لَا تُقَابَلُ بِشَيْءٍ
“Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dirusak. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika rusak.” Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) halaman 330 karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:
وأما آلات اللهو المشغلة عن ذكر الله، فإن كانت بعد كسرها لا تعد مالاً كالمتخذة من الخشب ونحوه فبيعها باطل لأن منفعتها معدومة شرعاً، ولا يفعل ذلك إلا أهل المعاصي
“Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahlu maksiat.”

Ini perkataan ulama Syafi’iyah yang bukan kami buat-buat. Namun mereka menyatakan sendiri dalam kitab-kitab mereka. Intinya, musik itu haram. Alat musik juga adalah alat yang haram. Pemanfaatannya termasuk diperjualbelikan adalah haram. Artinya, upah yang dihasilkan adalah upah yang haram. Penjelasan ini pun dapat menjawab bagaimana hukum shalawatan dan nasyid dengan menggunakan alat musik. Silakan direnungkan!
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Artikel menarik sebagian bahan kajian lebih jauh tentang musik: “Saatnya Meninggalkan Musik”.

-----tamat artikel dari ustaz abu rumaysho.

Ulasan saya yang ringkas;

Kedapatan banyak sangat kumpulan-kumpulan nasyid di Malaysia, lelaki dan perempuan. Masing-masing kata nak berdakwah, tetapi perhatikan dahulu dengan jalan apa yang kalian dakwahkan?

Ketika anda ingin menghapuskan kebatilan, adakah anda mengahpuskan kebatilan itu dengan kebatilan.

Yang hak tidak bercapur dengan batil.

Samalah seperti sebahagian parti politik di Malaysia ini, ketika dikatakan kenapakah anda melakukan sedemikian kepada parti lawan? Maka jawab pimpinan mereka, mereka itu melakukan lebih terul lagi dari apa yang kami lakukan.

Maka, mereka menghalalkan fitnah, membuka aib pemimpin, mendedahkan hal-hal peribadi, dan bersekutu dengan orang kafir.

Semoga Allah melindungi kita dan anak-anak kita dari syubhat-syubhat yang telah melanda mereka.

Allahu musta'an.

Zikri
Centre of IT, UTM.