30 January 2012

Memperingati Nabi tak perlu tunggu maulidurrasul

Ulasan Abu Faruq: Adalah perkara biasa menyambut maulidurrasul di tempat kita(malaysia). Sehingga ada cuti khusus maulidurrasul. Apakah ada asalnya perbuatan menyambut maulidurrasul. Kalau tiada di zaman nabi, siapa yang memulakannya?

Kurang lebih 600 tahun selepas kewafatan nabi, barulah munculnya acara/majlis maulidurrasul. Sesungguhnya apa sahaja ibadah mestilah disandarkan dengan petunjuk nabi, bukan sesiapa yang lainnya.

Kata2 ibnu taimiyah ini elok dijadikan panduan kita semua;

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ " شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

berikut tulisan ustaz abu rumaysho. semoga bermanfaat.

sumber: http://rumaysho.com

 

Peringatan Maulid Nabi dilakukan dalam rangka mengingat kelahiran, keistimewaan, mukjizat, sirah, dan mengetahui akhlak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pun diperintahkan untuk melakukan hal-hal tadi dalam rangka menjadikan meneladani beliau. Karena Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab: 21).

Inilah di antara syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang. Dan syubhat (kerancuan) dalam perayaan maulid ini diambil oleh ulama yang Pro Maulid semacam Muhammad bin ‘Alwi Al Maliki dalam kitab beliau Adz Dzakho-ir Al Muhammadiyyah hal. 269.

Apakah alasan di atas dapat melegalkan peringatan maulid?

Berikut beberapa sanggahan untuk menyanggah kerancuan di atas:

Pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).

Kedua:

Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka" (QS. Az Zukhruf: 22).

Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).

Ketiga:

Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ " شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Keempat:

Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelima:

Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Dikembangkan dari Rasa-il Hukmu Al Ihtifal bi Maulid An Nabawi, 1: 137-142, terbitan Darul Ifta’]

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Robi’ul Awwal 1433 H

www.rumaysho.com

28 January 2012

terhapus amalan 40 tahun?

ulasan abu faruq: di beberpa masjid di perak, menayangkan satu tulisan bahawa..

Sesiapa yang berkata-kata tentang perkara dunia di masjid, Allah hapuskan pahala amalannya selama 40 tahun.

betulke?

ustad adlan menjawab..mari kita baca..

Apabila abang saya, Hafiz Abd.Aziz menghantar satu gambar melalui telefon bimbit, saya agak terkejut bercampur kecewa. Kenapa? Kerana gambar tersebut adalah gambar satu tulisan yang digantung di salah sebuah masjid dan tulisan itu merupakan sebuah hadith palsu! Mari kita lihat bersama apa kata ulama hadith zaman berzaman tentang hadith yang disangka benar dan sahih dalam kalangan sebahagian masyarakat ini.


Hadith tersebut berbunyi:
Sesiapa yang berkata-kata tentang perkara dunia di masjid, Allah hapuskan pahala amalannya selama 40 tahun.
terdapat juga satu lagi hadith palsu yang hampir sama maksudnya berbunyi:

Berbual di masjid memakan pahala seperti binatang liar memakan rumput.

Adakah benar ada hadith sebegini dalam buku-buku hadith utama? Adakah ia hadith yang benar-benar sahih daripada Rasulullah s.a.w.? Sebahagian pembaca mungkin akan menjawab...saya tak tahu tapi rasanya saya pernah baca/dengar. Ini jawapan biasa kita temui. Hakikatnya kita 'tidak tahu'. Elok kita bertanya kepada yang tahu atau mencari dalam khazanah ilmu agar kita akan berpindah dari status 'tidak tahu' kepada 'tahu'.


Penjelasan:


Apabila kita melihat pandangan ulama hadith zaman berzaman, kita dapati beberapa fakta berkaitan dua hadith di atas dan juga berkaitan maksud yang dibawa oleh keduanya:
Pertama:


Kedua hadith ini atau yang sama maksud dengannya tidak ada ditemui di dalam buku-buku hadith utama seperti : Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Kitab-kitab Sunan (Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Nasaai), buku-buku Musnad (Ahmad, Abu Ya'la dll), atau Muwatto Imam Malik, dan buku-buku hadith masyhur yang lain. Maka bagaimana ia dianggap sebagai benar?


Kedua:
Tidak pernah ditemui mana-mana ulama hadith terkemuka yang mengisytiharkan bahawa hadith ini benar, sahih dari Rasulullah s.a.w.


Ketiga:
Terdapat ulama hadith terkemuka dalam bidang hadith (walaupun mungkin tidak popular dalam masyarakat umum) yang menyatakan bahawa hadith ini dan hadith sebegini tidak sahih malah palsu. Palsu dengan makna ia bukan hadith dan bukan berasal daripada Rasulullah s.a.w. Di antara mereka ialah:
Hadith 'dihapuskan amalan selama 40 tahun': Ahli hadith yang menilainya sebagai 'palsu' antaranya ialah:


1-al-Soghoni dalam bukunya yang mengumpulkan hadith-hadith palsu - al-Maudhu'aat.
2-Mulla Ali al-Qari dalam bukunya yang mengumpulkan hadith-hadith palsu - al-Asrar al-Marfu'ah dan al-Mashnu'.
*Rujuk buku Kasyf al-Khafaa' karya al-Ajluni - hadith no.2440.
Hadith 'memakan amalannya seperti binatang liar memakan rumput'. Ahli hadith yang menilainya sebagai palsu antaranya ialah:
1- al-Iraqi dalam takhrij al-Mughni 'an Hamli al-Asfaar.
2- al-Zabidi, al-Fairuz Abaadi, Ibn Hajar al-Asqalani, seperti yang ada dalam buku al-Masnu' oleh Ali al-Qari (no.109).
3- al-Subki dalam Tobaqaat al-Syafi'iyyah al-Kubra.
*Rujuk buku '20 Persoalan Asas Tentang Hadith - Adlan Abd.Aziz'.


Seperkara lagi, ia adalah sebuah kata-kata yang tidak dapat diterima maksudnya kerana umum mengetahui bahawa di zaman Rasulullah s.a.w. dan zaman kegemilangan Islam, masjid merupakan pusat pentadbiran dalam menguruskan hal ehwal pemerintahan. Sememangnya umat Islam dituntut untuk berbincang hal keduniaan di masjid kerana dunia yang digunakan dengan baik akan mendatangkan kebaikan di akhirat. Itulah contoh yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w. dan para sahabat. Mereka berbincang soal memajukan dunia selaras dengan syariat di masjid dan juga di tempat-tempat lain. Oleh itu kita dapat Mulla Ali al-Qari menyatakan bahawa hadith sebegini batil iaitu palsu dari setiap segi.

Adalah diharapkan sesiapa sahaja yang menemui hadith ini dibaca, ditulis atau disebarkan agar menasihati mereka yang bertanggungjawab agar lebih berhati-hati pada masa akan datang.


Adlan Abd. Aziz

27 January 2012

Adab pada hari jumaat

ulasan abufaruq: elok kita perhatikan dan buat ‘checklist’ adakah kita sudah penuhi adab2 dan sunnah yang wajar dilakukan pada hari jumaat.

banyak contoh yang ditunjukkan nabi SAW pada hari jumaat terutamanya persediaan solat jumaat.

sumber artikel: tulisan ustaz fathi al-sakandary al tabib, student medic di mesir.

Antara amalan yang dianjurkan sebelum pergi solat Jum’at ialah:


1- Mengenakan wangi-wangian bagi yang mampu, kecuali mereka yang berihram (al-Bukhari (840, 883), Muslim (1997)).
2- Menggosok gigi (al-Bukhari (880), Muslim (1997))
3- Memakai pakaian yang cantik, iaitu berhias (Abu Daud (343) dan beliau mendiamkannya, maka ia Soleh – lanjut berkenaan erti Soleh disisi Abu Daud dianjur untuk merujuk risalah saya: “Setiap Hadith-Hadith Yang Didiamkan Imam Abu Daud Dalam Sunan Adalah 'Soleh' ”)


4- Menjauhi sebelum pergi ke solat daripada memakan makanan yang berbau kuat hingga dapat mengganggu jamaah solat, ini termasuk bawang putih, apatah lagi rokok (bersama-sama dengan haramnya ia)
5- Segera menuju ke Masjid sebelum khutbah, kerana Malaikat akan mencatat nama mereka yang tiba awal ke Masjid, apabila khutbah bermula maka para Malaikat tidak lagi menulis sebaliknya mereka turut sama mendengar khutbah (al-Bukhari (3211), Muslim (2021))


Manakala antara amalan yang dilakukan apabila dalam perjalanan ke Masjid, tiba di Masjid dan ketika khutbah ialah:
1- Berjalan menuju ke Masjid, tidak menaiki kenderaan kerana Allah akan mengharamkan api neraka bagi mereka yang berdebu kakinya kerana berjalan pergi ke Jum’at semata-semata kerana Allah Jalla wa `Ala (al-Bukhari (907)).


Adapun hadith yang masyhur menyatakan bahawa sesiapa yang berjalan pergi ke Jum’at maka setiap langkah pahala seolah berpuasa dan bersolat malam selama setahun, hadith ini dikeluarkan oleh al-Tirmizi dan ia Dha’if, dilemahkan oleh al-Tirmizi sendiri dengan katanya: “Hasan” (al-Jami’ al-Mukhtasar (496) – lanjut berkenaan maksud “Hasan” disisi al-Trimizi dianjurkan untuk merujuk risalah saya: “Pengenalan Kepada Sunan Al-Tirmizi & Manhajnya”)


2- Duduk dekat kepada khatib (Abu Daud (1108) dan beliau mendiamkannya, maka ia Soleh disisi Abu Daud. Saya katakan: bahkan isnadnya Sahih)


3- Menghadapkan pandangan kepada khatib yang sedang berkhutbah. Dalam hal ini tiada satupun hadith marfu’ yang sahih, namun ia thabit daripada amalan para sahabat Nabi SAW seperti Ibn `Umar, Anas dan lain-lain.

Berkata al-Hafiz al-Tirmizi: “والعمل على هذا عند أهل العم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم يستحبون استقبال الإمام إذا خطب– inilah yang diamalkan oleh para ahli ilmu dari kalangan Sahabat Nabi SAW dan selain mereka, mereka menganjurkan menghadapkan pandangan kepada imam ketika beliau sedang berkhutbah” (Jami’ al-Mukhtasar (2/383), komentar pada hadith no. 509)


4- Menunaikan solat sunat mutlaq sebanyak yang mampu sementara khatib belum berkhutbah (Abu Daud (290), dan beliau mendiamkannya, bermakna Soleh. Dan berkata Abu `Abd al-Rahman al-Albani: Hasan)


5- Menunaikan solat Tahiyatul Masjid apabila masuk ke masjid walaupun ketika itu khatib sedang berkhutbah (al-Bukhari (930)), tidak menjadi masalah jika seseorang itu duduk dahulu samada untuk minum air (ketika khatib belum berkhutbah), atau berehat sebentar kerana penat dan lain-lain, kemudian baru bersolat 2 rak'at Tahiyatul Masjid, tiada masalah padanya. Dan tidaklah sunnah seseorang itu sengaja melewat-lewatkan solat Tahiyatul Masjid tanpa ada apa-apa keperluan.


Solat 2 rak'at ketika memasuki masjid (dinamakan Tahiyatul Masjid ) adalah sunnah secara ijma', dan ia adalah disyariatkan. Namun para fuqaha' berbeza pendapat akan hukum Tahiyatul Masjid , mazhab zahir seperti Daud `Ali al-Zahiri dan Ibn Hazm berpendapat ia wajib sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Qadhi Iyadh, manakala para imam mazhab yang empat berpegang ia mustahab (dianjurkan) dan bukannya wajib

Berkenaan hakikat solat Tahiyatul Masjid pula, perlu diketahui nama khas Tahiyatul Masjid ini tidak thabit dari Salaf, tidak dari hadith, ia hanyalah penamaan oleh fuqaha' terkemudian. Bahkan sebenarnya solat Tahiyatul Masjid ini bukanlah satu jenis solat yang berdiri dengan sendirinya sebagaimana solat witir yang berdiri dengan sendiri, solat dhuha yang berdiri dengan sendiri, solat rawatib yang berdiri dengan sendiri.


Akan tetapi sebenarnya solat 2 rak'at memasuki masjid ini ia adalah termasuk daripada jenis solat nawafil mutlak (solat sunat mutlak) atau apa sahaja solat-solat lain yang disyariatkan. Dengan kata lain disunnahkan melakukan apa-apa saja solat yang disyariatkan ketika masuk masjid, contohnya sekiranya seseorang itu memasuki masjid dalam waktu dhuha dan beliau solat dhuha sebanyak 2 rak'at maka beliau telah dikira melakukan Tahiyatul Masjid , atau masuk masjid dan bersolat 2 rak'at rawatib dikira juga Tahiyatul Masjid.


6- Dianjurkan memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan keluar mendahulukan kaki kiri. Dalam hal ini tiada satupun hadith yang sahih dan sarih (jelas), adapun hadith yang masyhur dari Anas secara marfu’ bahawa Nabi SAW bersabda berbunyi:


“من السنة إذا دخلت المسجد أن تبدأ برجلك اليمنى ، وإذا خرجت أن تبدأ برجلك اليسرى – daripada sunnah ialah apabila memasuki masjid, mulai dengan kaki kanan, dan apabila keluar maka mulai dengan kaki kiri”.
Hadith Anas diatas dikeluarkan antaranya oleh al-Baihaqi (al-Kubra (4494)) dari Abu al-Walid al-Thayalisi dari Syaddad Abu Talhah dari Mu’awiyah bin Qurrah dari Anas bin Malik secara marfu’ kepada Nabi SAW.


Saya katakan: hadith ini adalah satu-satunya hadith marfu’ yang sarih (jelas) menyebut anjuran memasuki masjid dengan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri. Namun ia Dha’if, bahkan Munkar. Kata al-Baihaqi sejurus mengeluarkan hadith ini: “تَفَرَّدَ بِهِ شَدَّادُ بْنُ سَعِيدٍ أَبُو طَلْحَةَ الرَّاسِبِىُّ. ,وَلَيْسَ بِالْقَوِىِّ. – menyendiri pada hadith ini Syaddad bin Sa’id Abu Talhahal-Rasibi, dan dia tidaklah kuat (iaitu lemah)” , dan berkata al-Hafiz Abu Yusuf al-Tharifi: “ أن هذا الحديث منكر– sesungguhnya hadith ini Munkar” (Sifat Solat Nabi (37-38)).


Walaupun hadith Anas diatas tidak sahih, namun maknanya benar serta fiqhnya diamalkan berdasarkan amalan sahabi `Abdullah ibn `Umar. Imam al-Bukhari mempunyai seni yang halus dalam menyatakan hal ini tetap sunnah walaupun tiada hadith sahih yang sarih padanya, ini dapat kita lihat pada gaya penyusun hadith dan tabwib beliau dalam kitabnya al-Jami’ al-Sahih.


Imam al-Bukhari membuat bab khas dalam kitabnya al-Jami al-Sahih bertajuk: “باب التيمن في دخول المسجد وغيره – bab mendahulukan kaki kanan dalam memasuki masjid dan sebagainya”, kemudian berkata al-Bukhari: “وكان ابن عمر يبدأ برجله اليمنى فإذا خرج بدأ برجله اليسرى – adalah Ibn `Umar beliau memulakan kaki kanan ketika memasuki masjd dan apabila keluar beliau keluar mendahulukan kaki kiri”. Kemudian al-Bukhari membawakan satu sahaja hadith untuk bab ini dalam Sahihnya iaitu hadith `Aishah, kata `Aishah: “كان النبي صلى الله عليه وسلم يحب التيمن ما استطاع في شأنه كله في طهوره وترجله وتنعله – adalah Nabi SAW suka mendahulukan yang kanan dalam setiap perbuatannya. Seperti dalam bersuci, menaiki kendaraan dan memakai sandal” (al-Jami al-Sahih (1/116)).


Perhatikan gaya Amirul Mu’minin fil Hadith ini, tidakkah ia genius! Ya, bahkan tidak dinafikan lagi. Imam al-Bukhari mengetahui bahawa dalam hal ini tiada satupun hadith yang sahih dan sarih, namun beliau mengetahui bahawa amalan itu sememangnya sunnah, ini dapat kita lihat daripada tajuk babnya apabila dia berkata: “باب التيمن في دخول المسجد وغيره – bab mendahulukan kaki kanan dalam memasuki masjid dan sebagainya”.


Kemudian, disebabkan tiada hadith marfu’ yang sahih dan sarih, maka al-Bukhari membawakan athar amalan sahabi `Abdullah ibn `Umar yang beramal dengan isi kandungan fiqh hadith tersebut, kemudian sebagai penguat maka al-Bukhari membawakan hadith `Aishah. Gaya seni yang sama dapat kita perhatikan ketika al-Bukhari ingain menjelaskan anjuran membaca “bismillah” sebelum wudhu’ walaupun diketahui bahawa tiada walaupun satu hadith yang sahih dalam bab itu. Allah hu’alam.


7- Dianjurkan untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan: “اللهم افتح لي أبواب رحمتك-Allahummaftah li abwaba rahmatik” ketika memasuki masjid (Muslim (1685)).
8- Tidak berkata-kata ketika khatib sedang berkhutbah (al-Bukhari (934))


9- Tidak mengganggu para jamaah, jika kita datang lewat maka jangan melangkah-langkah antara bahu Jamaah, atau memisahkan bahu dua orang yang sedang duduk agar boleh dilalui untuk mencari tempat.
Abdullah bin Bisr berkata: “جاء رجل يتخطى رقاب الناس يوم الجمعة والنبى -صلى الله عليه وسلم- يخطب فقال له النبى -صلى الله عليه وسلم- « اجلس فقد آذيت » - pernah datang seseorang dengan melangkahi bahu manusia-manusia pada hari Jum'at, sedangkan Nabi SAW sedang berkhutbah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: "Duduklah, kamu benar-benar telah mengganggu orang lain." (Abu Daud (1118), dan beliau mendiamkannya, bermaksud ia Soleh. Dan berkata Abu `Abd al-Rahman al-Albani: “Sahih”).


Sebaliknya memintalah dengan baik, Nabi SAW bersabda: “لا يقيمن أحدكم أخاه يوم الجمعة ثم ليخالف إلى مقعده فيقعد فيه ولكن يقول افسحوا - janganlah salah seorang daripada kamu mengusir saudaranya dari tempat duduknya pada hari Jum'at untuk kamu ambil tempat duduknya itu, tetapi katakanlah kepadanya: - tolong - lapangkanlah!” (Muslim (5417)). Dan ini adalah adab yang dilupakan ramai manusia kini.


10- Sekiranya mengantuk mendengar khutbah, maka dianjurkan untuk bangun dan berubah tempat. Nabi SAW bersabda: “إذا نعس أحدكم يوم الجمعة فليتحول من مجلسه ذلك - jika salah seorang daripada kamu mengantuk pada hari Jum'at (iaitu ketika khutbah Jum'at), hendaknya dia pindah dari tempat duduknya” (al-Tirmizi (526) dan katanya Hasan Sahih)


Juga antara amalan yang dianjurkan dilakukan apabila selesai solat Jum’at ialah:
1- Mendirikan solat nawafil selepas Jum’at sebanyak 4 rak’at di masjid, atau 2 rak’at di masjid dan 2 rak’at apabila tiba di rumah (Muslim (2074)).


2- Dianjurkan untuk berdoa dengan doa yang disyariatkan: “اللهم إنى أسألك من فضلك –Allahumma inni as aluka min fadhlik” ketika keluar masjid (Muslim (1685)).
3- Keluar dari masjid dengan mendahulukan dengan kaki kiri (rujuk penjelasan sebelum ini)

Sekian, Allah hu'alam


Abu Ismail Fathi Al-Sakandary al-Tabib
Tulisan ini adalah ekstrak daripada nota kaki no. 3 dalam risalah saya bertajuk: "Hadith-Hadith Fadhilat Pengkhususan Surah al-Kahfi Pada Hari Jum’at: Satu Kajian Terperinci"

23 January 2012

Hiduplah berjiran

BERTETANGGA YANG SIHAT DAN KIAT MENGHADAPI TETANGGA JAHAT

Tak dipungkiri, manusia tidak bisa terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia mutlak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga. Islam pun telah menggariskan etika sosial untuk menciptakan jalinan yang harmonis antar keluarga. Sehingga kehidupan manusia terpenuhi atmosfer yang penuh dengan spirit tasaamuh (toleransi), ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa. Penyakit ananiyah (egoisme), su’uzhan (buruk sangka), tajassus (sikap memata-matai), menggunjing aib orang lain, dan sederet akhlak tercela lainnya tidak endapatkan tempat. Keamanan, ketentraman dan roda kehidupan yang didasari saling tepa selira dan menghormati dapat semakin kokoh


TETANGGAMU, PERGAULILAH DENGAN BAIK


Tetangga adalah sosok yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang, tetangga kita lebih tahu keadaan kita ketimbang kerabat kita yang tinggal berjauhan. Saat kita sakit dan ditimpa musibah, tetangga lah yang pertama membantu kita. Tak heran, jika Islam begitu menekankan kepada kita untuk berbuat baik kepada terangga, karena dampak hubungan yang harmonis antar tetangga mendatangkankan maslahat yang begitu besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إلى جَارِهِ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada terangganya. [1]
وَأحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا
Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. [2]


Dua hadits di atas mengindikasikan bahwa berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan imannya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menggambarkan arti pentingnya kedudukan tetangga dengan mengatakan.
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ


Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tentangga, hingga aku yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya). [3]

Berkaitan  makna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan.

Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril.

Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab.
إلى أقْرَبَهُمَا مِنْكِ بَابًا

Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu.[4]
Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (Bab Hak Tetangga Yang Terdekat Pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini. [5]

 

Footnote
[1]. HR Bukhari no: 4787 dan Muslim no: 69. lafazh hadits milik Muslim.
[2]. HR. Ibnu Majah no: 4207 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani”. Lihat Min Adabil Islam hal.31 karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
[3]. Muttafaqun ‘alaih, Shahih Bukhari no: 5555, 5556 dan Shahih Muslim no: 4756, 4757 dari hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar.
[4]. HR Al Bukhari no: 2099
[5]. Qawa’id Wa Fawa’id hal.141

artikel penuh di: http://almanhaj.or.id/content/3064/slash/0

16 January 2012

Kisah 3 orang dari umat terdahulu

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

oleh: abu faruq @ zikri

Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, menunjukkan contoh2 yang agung. Tiada tokoh yang dapat menandinginya. Hatta ulama atau wali songo sekalipun.

Ada antara manusia yang terlalu mengagungkan tokoh2 tertentu hingga tokoh itu kelihatan atau kedengaran lebih hebat dari Nabi Muhammad SAW.

Ada tokoh yang ditelusuri kisah hidupnya, diambil kata2 nya, tetapi ditinggalkan dan disishkan kata2 Nabi Muhammad SAW.

Ia akan membuahkan hasil yang tidak baik kerna menyelisihi Nabi Muhammad SAW.

Sebab itu pincanglah satu2 perbahasan dakwah jika kita meninggalkan hadith dari Nabi Muhammad SAW, tetapi yang dikutip, dikaji dan dibahas adalah tokoh selain dari Nabi Muhammad SAW.

Tiada masalah mengkaji tokoh2 lainnya, tetapi dengan meninggalkan terus Nabi Muhammad SAW, ia adalah sautu yang jelek.

Apatah lagi kalau tokoh itu tidak lebih hanyalah pejuang politik, pejuang hizbiyyah, yang mengagungkan kelompok dan partinya sendiri.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Maka, para ustaz dan ustazah dalam setiap ceramah, haruslah menyelitkan hadith atau ayat alqur’an sebagai sokongan dalil atas apa yang ia katakan, atausetidaknya, apa yang ia sampaikan , haruslah selari dengan alqur’an dan assunnah.

Baru2 ini di TV3, seorang pengamal perubatan cara “Islam” menceritakan air yang terbaik selepas air zam2 ialah air kolah masjid. Maka, berderulah orang2 awam yang jahil membenarkan kata2 sang ‘ustaz’ itu, pergi ke masjid mengambil air kolah untuk tujuan perubatan.

berapa ramaikah orang yang sudah dibodohkan kerana sikap pengamal perubatan ini. Mengkisahkan suatu yang bukan dri alqur’an dan assunnah.

Anak degil ubatnya? pakaikan benang hitan yang dijampi ditangannya.

Isteri curang ubatnya? minum air kolah masjid.

Bapa main kayu tiga, ubatnya? campur air jampi sang ‘ustaz’ dalam minumannya.

Kalau inilah penyelesaiannya, ia pasti sudah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat, generasi terbaik, generasi yang sudah menerima tentangan dan gangguan dari syaitan, jin dan syaitan bertopengkan manusia.

kekuatan jin dan syaitan di zaman rasulallah, dari logiknya, mestilah lebih kuat dari zaman sekarang, kerna mereka cuba untuk menggoda orang yang paling kuat imannya, dan paling dekat dengan rasuallah.

adapun syaitan zaman sekarang, tak perlu bagi yang kuat, cukup yang lemah sahaja, padan untuk menggoda manusia.

Hanya kerana SEBIJI BOLA, umat Islam meninggalkan solat subuh, sanggup berjaga malam untuk menonton sebiji bola.

Jadi, demikian itu, saya ingin mengajak pembaca blog ini menghayati kisah umat terdahulu, kisah yang dikisahkan oleh orang yang terhebat yang diagungkan oleh Allah SWT.

klik link berikut untuk membaca kisah 3 orang soleh yang terperangkap dalam gua, akhirnya bebas kerana amal mereka.

http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/241-muroqobatullah-tingkat-tinggi

13 January 2012

Makanlah yang halal, jauhi yang haram

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian muslim tidak mempedulikan apa yang masuk dalam perutnya. Asal enak dan ekonomis, akhirnya disantap. Tidak tahu manakah yang halal, manakah yang haram. Padahal makanan, minuman dan hasil nafkah dari yang haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, bahkan untuk kehidupan akhiratnya setelah kematian. Baik pada terkabulnya do’a, amalan sholehnya dan kesehatan dirinya bisa dipengaruhi dari makanan yang ia konsumsi setiap harinya. Oleh karena itu, seorang muslim begitu urgent untuk mempelajari halal dan haramnya makanan. Dan yang kita bahas kali ini adalah seputar pengaruh makanan yang haram bagi diri kita. Moga bermanfaat.

Pertama: Makanan haram mempengaruhi do’a

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ».

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: 'Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' Dan Allah juga berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'" Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?" (HR. Muslim no. 1015)

Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Sa’ad,

أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة

Perbaikilah makananmu, maka do’amu akan mustajab.” (HR. Thobroni dalam Ash Shoghir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan sebagaimana dalam As Silsilah Adh Dho’ifah 1812)

Ada yang bertanya kepada Sa’ad bin Abi Waqqosh,

تُستجابُ دعوتُك من بين أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ؟ فقال : ما رفعتُ إلى فمي لقمةً إلا وأنا عالمٌ من أين مجيئُها ، ومن أين خرجت .

“Apa yang membuat do’amu mudah dikabulkan dibanding para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?” “Saya tidaklah memasukkan satu suapan ke dalam mulutku melainkan saya mengetahui dari manakah datangnya dan dari mana akan keluar,” jawab Sa’ad.

Dari Wahb bin Munabbih, ia berkata,

من سرَّه أنْ يستجيب الله دعوته ، فليُطِب طُعمته

“Siapa yang bahagia do’anya dikabulkan oleh Allah, maka perbaikilah makanannya.”

Dari Sahl bin ‘Abdillah, ia berkata,

من أكل الحلال أربعين يوماً أُجيبَت دعوتُه

“Barangsiapa memakan makanan halal selama 40 hari, maka do’anya akan mudah dikabulkan.”

Yusuf bin Asbath berkata,

بلغنا أنَّ دعاءَ العبد يحبس عن السماوات بسوءِ المطعم .

“Telah sampai pada kami bahwa do’a seorang hamba tertahan di langit karena sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”

Gemar melakukan ketaatan secara umum, sebenarnya adalah jalan mudah terkabulnya do’a. Sehingga tidak terbatas pada mengonsumsi makanan yang halal, namun segala ketaatan akan memudahkan terkabulnya do’a. Sebaliknya kemaksiatan menjadi sebab penghalang terkabulnya do’a.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah tiga orang yang masuk dan tertutup dalam suatu goa, batu besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.”

Wahb bin Munabbih berkata,

العملُ الصالحُ يبلغ الدعاء ، ثم تلا قوله تعالى : { إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه }

“Amalan sholeh akan memudahkan tersampainya (terkabulnya) do’a. Lalu beliau membaca firman Allah Ta’ala, “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Dari ‘Umar, ia berkata,

بالورع عما حرَّم الله يقبلُ الله الدعاء والتسبيحَ

“Dengan sikap waro’ (hati-hati) terhadap larangan Allah, Dia akan mudah mengabulkan do’a dan memperkanankan tasbih (dzikir subhanallah).”

Sebagian salaf berkata,

لا تستبطئ الإجابة ، وقد سددتَ طرقها بالمعاص

“Janganlah engkau memperlambat terkabulnya do’a dengan engkau menempuh jalan maksiat.” (Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, 1: 275-276)

Kedua: Rizki dan makanan halal mewariskan amalan sholeh

Rizki dan makanan yang halal adalah bekal dan sekaligus pengobar semangat untuk beramal shaleh. Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

"Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51). Sa’id bin Jubair dan Adh Dhohak mengatakan bahwa yang dimaksud makanan yang thoyyib adalah makanan yang halal (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 126).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta'ala pada ayat ini memerintahkan para rasul 'alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholeh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Oleh karena itu, para Nabi benar-benar memperhatikan bagaimana memperoleh yang halal. Para Nabi mencontohkan pada kita kebaikan dengan perkataan, amalan, teladan dan nasehat. Semoga Allah memberi pada mereka balasan karena telah member contoh yang baik pada para hamba." (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 126).

Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ

"Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan. Namun benarkah harta benda itu kebaikan yang sejati?" (HR. Bukhari no. 2842 dan Muslim no. 1052)

Ketiga: Pencegah dan penawar berbagai penyakit

Allah Ta'ala berfirman,

وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang hanii’ (baik) lagi marii-a (baik akibatnya)." (QS. An Nisa': 4).

Al Qurthubi menukilkan dari sebagian ulama' tafsir bahwa maksud firman Allah Ta'ala “هَنِيئًا مَرِيئًا” adalah, "Hanii’ ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif. Sedangkan marii-a ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna dan tidak menimbulkan peyakit atau gangguan." (Tafsir Al Qurthubi, 5:27). Tentu saja makanan yang haram menimbulkan efek samping ketika dikonsumsi. Oleh karenanya, jika kita sering mengidap berbagai macam penyakit, koreksilah makanan kita. Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.

Keempat: Di akhirat, neraka lebih pantas menyantap jasad yang tumbuh dari yang haram

Dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4: 141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 4519)

Lihatlah begitu bahayanya mengonsumsi makanan haram dan dampak dari pekerjaan yang tidak halal sehingga mempengaruhi do’a, kesehatan, amalan kebaikan, dan terakhir, mendapatkan siksaan di akhirat dari daging yang berasal dari yang haram.

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

[Allahummak-finaa bi halaalika ‘an haroomika, wa agh-ninaa bi fadh-lika ‘amman siwaak]

"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

sumber:http://www.rumaysho.com

11 January 2012

Hilang Ilmu, Tersebar Kebodohan

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


13. HILANGNYA ILMU DAN MENYEBARNYA KEBODOHAN
Diantara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [1]


Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.
‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [2]


Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.
‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[3]


Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [4]


Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [5]


Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’” [6]


An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[7]


Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan.
Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.”


Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya.

Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari:
وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ.
“Dan berkurangnya pengamalan.” [8]


Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” [9]

Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” [10]


Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam.


Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.
“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah [11] berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [12]


‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ.
“Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [13]


Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” [14]

Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ.
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [15]


Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:
Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.
‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [16]


Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [17]


[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).
[3]. Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi).
[4]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmi, bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmi (I/194, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan (XVI/223-224, Syarh an-Nawawi).
[7]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/223-224).
[8]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab Husnul Khuluq was Sakhaa’ wa Ma Yukrahu minal Bukhli (X/456, al-Fath).
[9]. Tadzkiratul Huffaazh (III/1031).
[10]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Tsummal Ladziina Yaluu-nahum (XVI/86, Syarh an-Nawawi).
[11]. Beliau: Abul ‘Ala atau Abu Bakar; Shilah bin Zufar al-‘Abasi al-Kufi, seorang Tabi’in terkemuka, terpercaya dan mulia. Beliau meriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas. Beliau wafat sekitar tahun 70 H. rahimahullah.
[12]. Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi (II/1344-1245), al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/473), dan beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat Muslim, akan tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang kuat.” Fat-hul Baari (XIII/16).
Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaaghiir (VI/339, no. 7933).
[13]. HR. Ath-Thabrani, dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi kitab-kitab ash-Shahiih, selain Syaddad bin Ma’qal, ia adalah tsiqat (Majma’uz Zawaa-id VII/329-330).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi hadits ini mauquf.” (Fat-hul Baari XIII/16).
Komentar saya, “Hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan akal, maka hukumnya sama dengan hukum marfu’.”
[14]. Majmuu’ al-Fataawaa (III/198-199).
[15]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 178, Syarh an-Nawawi).
[16]. Musnad Ahmad (XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Dan al-Mustadrak al-Hakim (IV/435), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat asy-Syaikhani, jika al-Hasan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Dan disepakati oleh adz-Dzhahabi.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini.